kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PT Pendanaan Efek cuma untungkan sekuritas besar


Senin, 16 Januari 2017 / 18:08 WIB
PT Pendanaan Efek cuma untungkan sekuritas besar


Reporter: Asih Kirana Wardani | Editor: Asih Kirana

Ada kejutan dari PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada pekan terakhir tahun lalu. Bersama dua self regulatory organization (SRO) lainnya, yakni PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), BEI akhirnya membidani kelahiran PT Pendanaan Efek Indonesia (PEI). Lembaga ini kelak memberikan pembiayaan kepada sekuritas untuk mendanai transaksi saham dengan menggunakan sistem margin atau biasa disebut transaksi margin.

Direktur Utama BEI Tito Sulistio mengungkapkan, modal awal PEI mencapai Rp 500 miliar. Nah, BEI sebagai pemegang saham memiliki andil 34%. Adapun, KSEI dan KPEI masing-masing 33%. BEI memiliki satu saham emas alias golden share sehingga bisa menentukan direksi dan komisaris PEI. Seiring dengan waktu berjalan, modal PEI akan terus ditingkatkan. “Saat mulai beroperasi, kira-kira Maret nanti, diharapkan modal sudah meningkat menjadi Rp 1 triliun,” jelas Tito saat ditemui KONTAN di kantornya di lantai 6, Tower 1, Gedung IDX, di bilangan Sudirman Central Business District (SCBD), Kamis (5/1).

Tito juga tidak menutup kemungkinan mendapatkan sumber pendanaan dari pihak lain, seperti bank sentral maupun bank umum. Dengan demikian, kemampuan PEI untuk menyalurkan pembiayaan kian besar. Maklum, rencananya PEI bisa memberikan pembiayaan hingga Rp 100 miliar kepada setiap sekuritas anggota bursa yang memenuhi syarat. Adapun persyaratan utamanya, sekuritas tersebut memiliki modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) senilai minimal Rp 250 miliar. 

Selanjutnya, anggota bursa tersebut bisa meminjamkan dana tersebut kepada para investor ritel yang jadi klien mereka untuk melakukan transaksi margin. Dengan demikian, sekuritas pun bisa mendapat keuntungan dari bunga atas pinjaman ini. “Jadi, ini dari industri, untuk pengembangan industri juga,” ujar Tito.

Memang, pendapatan BEI selama ini berasal dari komisi yang dipungut dari setiap transaksi yang terjadi di BEI. Nah, dengan beroperasi PEI, nilai transaksi di pasar saham pun diharapkan meningkat. Ujungnya, pendapatan sekuritas, yang notabene anggota bursa, dan BEI juga akan meningkat.

Tito mengatakan, ada dua model pembiayaan margin yang berlaku di dunia. Pertama, lembaga pembiayaan mendanai langsung investor. Kedua, lembaga pembiayaan hanya mendanai perusahaan sekuritas. BEI memilih model kedua, seperti yang diterapkan di Jepang. “Jadi tidak repot, KYC (know your customer) tetap dilakukan oleh sekuritas,” terang Tito.

Tito menduga, dari transaksi harian di bursa rata-rata sebesar Rp 7,7 triliun, hanya sekitar 5% yang memakai fasilitas margin. Ia tak mengetahui persis angkanya karena transaksi margin ini tidak dilaporkan. Sebab, selama ini sekuritas menggunakan uangnya sendiri saat memberikan pembiayaan transaksi margin. Nah, dengan berjalannya PEI kelak, sekuritas harus melaporkan transaksi margin yang dilakukan klien mereka kepada BEI karena ada uang PEI yang mereka putar. Tito berharap, setelah PEI beroperasi, transaksi yang memakai fasilitas margin kelak bisa mencapai 20% dari total transaksi harian. Karena memakai uang dari PEI, detailnya pun mesti dilaporkan ke BEI.

Potensi bubble saham margin

Demi meningkatkan nilai transaksi margin, BEI tidak hanya mendirikan lembaga pembiayaan. BEI juga berencana menambah jumlah saham yang bisa ditransaksikan dengan menggunakan fasilitas margin. Saat ini, BEI mengevaluasi daftar saham margin setiap bulan. Untuk Januari ini, ada 61 saham yang masuk dalam saham margin. “Nanti, kami akan tambah daftar margin sampai menjadi 200 saham,” kata Tito. Rencana ini kemungkinan berlaku mulai Februari nanti.

Rencana BEI menambah daftar saham margin tersebut mendapat sambutan positif dari sebagian kalangan pelaku pasar. Presiden Direktur Trimegah Securities Stephanus Turangan, misalnya, mengungkapkan animo kliennya untuk mendapatkan pembiayaan transaksi margin cukup baik. “Akan lebih baik jika daftar margin diperbanyak,” imbuh Stephanus.

Namun, ada juga sementara kalangan bursa yang sinis menyambut rencana BEI tersebut. Pasalnya, sejatinya sangat sulit untuk mendapatkan saham-saham di BEI yang cukup layak untuk ditransaksikan secara margin. “Dari 60-an saham yang ada di daftar margin saat ini, sebenarnya tidak semuanya layak ditransaksikan secara margin,” ujar seorang direktur di sebuah sekuritas, yang enggan diungkapkan identitasnya. 

Menurut sumber tersebut, seharusnya BEI menggunakan kriteria fundamental dalam menetapkan saham-saham margin. Namun, saat ini BEI cuma menerapkan kriteria likuiditas, yakni dilihat dari frekuensi dan volume transaksi yang besar. “Dulu ada kriteria fundamental, berdasarkan price to earning ratio (P/E) saham margin. Tapi aturan ini malah dihilangkan,” keluh dia.

Yang ia khawatirkan, tanpa memakai kriteria fundamental, harga-harga saham margin berpotensi menggelembung alias bubble. Apalagi, dengan beroperasinya PEI kelak, akan tersedia sumber pembiayaan saham margin yang lebih besar. Dana ini akan masuk ke saham-saham margin yang jumlahnya terbatas, sehingga makin menggelumbungkan harganya. Nah, ketika gelembung ini meletus atau terjadi penyesuaian harga dengan kondisi fundamental emiten, maka investor akan menelan rugi besar lantaran dipaksa menjual portofolio sahamnya (forced sell). "Akibatnya, bisa jadi investor ritel justru kapok berinvestasi di bursa saham," imbuh dia. 

Berdasarkan penelusuran KONTAN, pada Jumat (13/1) lalu, PER Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai 23,79 kali. Adapun, dari 61 saham yang masuk di dalam daftar saham margin, berdasarkan kinerja keuangan per September 2016, ada 21 saham yang memiliki PER di atas IHSG. Sebut saja, ANTM (460 kali), SMRA (267 kali), MPPA (176,25 kali), SILO (131,25 kali), KREN (56 kali), PPRO (50,6 kali), ADHI (50,47 kali), MIKA (50,41 kali), UNVR (47,71 kali), WIKA (41,5 kali), HMSP (37,5 kali), SSMS (35,98 kali), WTON (33 kali), LSIP (31,6 kali), KLBF (31,56 kali), CTRA (30,98 kali), PTPP (29,92 kali), WSBP (29 kali), ICBP (26,31 kali), SCMA (26,57 kali), dan WSKT (24,67 kali). Selain itu, ada saham INCO yang justru memiliki PER negatif 206,67 kali. Ini berarti, lebih dari 30% saham margin memiliki PER yang sudah lebih tinggi daripada PER pasar.

Dianggap tidak adil

Selain kekhawatiran terjadi gelembung harga saham, beberapa anggota bursa menilai, tidak adil aturan main yang menetapkan hanya anggota bursa yang memiliki MKBD Rp 250 miliar yang bisa mendapatkan fasilitas pinjaman margin dari PEI. Itu berarti, 10 kali lipat dari ketentuan MKBD minimal saat ini yang hanya sebesar Rp 25 miliar. Tak heran, dari 116 anggota bursa yang aktif, hanya segelintir memiliki MKBD di atas Rp 250 miliar. Tito menyebut, jumlah bergerak antara 24-30 sekuritas. Senada, sumber KONTAN menyebut, jumlahnya hanya sekitar 29 sekuritasnya. "Itu pun, kebanyakan sekuritas asing," imbuh dia.

Padahal, menurut dia, sekuritas asing kemungkinan besar tidak akan mau memanfaatkan fasilitas pinjaman margin dari PEI tersebut. Sebab, kalau pun mereka perlu, mereka bisa mengakses dana atau pinjaman dari luar negeri, yang bunganya jauh lebih rendah ketimbang bunga yang berlaku di Indonesia. "Bunga 6%-7% pun bagi mereka masih dianggap tinggi, mana mau,” cetus dia.

Tito sendiri tidak bisa memastikan bunga yang kelak dipatok PEI. Ia hanya berjanji, PEI akan mematok bunga yang tak melebihi bunga pasar, sehingga para broker akan tertarik mengambil fasilitas ini. Tapi, serendah-rendahnya bunga PEI, menurut pelaku bursa tadi, PEI tak akan mungkin memberikan bunga di bawah bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau 7-Day Reverse Repo Rate. Sebab, PEI merupakan perseroan terbatas yang juga dituntut untuk memberikan keuntungan bagi pemegang sahamnya. Sebagai gambaran, menurut sumber tadi, saat ini bunga fasilitas margin di pasar rata-rata berkisar 18%-19% per tahun yang dihitung secara harian. 

Bila itu terjadi, maka selisih bunga PEI dengan bunga di pasar margin kelak akan cukup besar. Toh, bagi sekuritas asing, masih lebih besar keuntungannya bila memakai sumber dana dari luar negeri. “Jadi paling broker lokal yang memenuhi syarat MKBD yang akan ambil. Ini tidak fair untuk anggota bursa yang lain,” sergah dia.

Namun, sumber KONTAN yang lain menyebutkan, belum tentu juga sekuritas besar akan memanfaatkan fasilitas margin tersebut. Sebab, kebanyakan pelaku transaksi margin adalah investor ritel yang memiliki dana terbatas. Sementara, rata-rata sekuritas besar lebih mengandalkan pada investor institusi. Biasanya, investor institusi enggan bermain transaksi margin karena lebih mengutamakan investasi jangka panjang dan faktor keamanan.

Di sisi lain, Tito beralasan, faktor keamanan mendasari keputusan BEI memberikan fasilitas margin hanya kepada broker yang memiliki MKBD besar. “Kan, tidak mungkin memberikan pinjaman yang lebih besar daripada MKDB-nya,” kilah Tito.

Namun, direktur sebuah sekuritas tadi menyebut, MKBD besar bukanlah jaminan keamanan suatu broker. Ia pun mengambil contoh kasus gagal bayar transaksi saham PT Sekawan Intiprima Tbk (SIAP) yang melibatkan sekuritas besar pada 2015 lalu. Selain itu, pada 2014, ada kasus gagal bayar repurchasement agreement (Repo) saham PT Trada Maritime Tbk yang juga melibatkan sekuritas pelat merah bermodal besar.

Sayang sekali, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mesti menentukan rambu-rambu lembaga pembiayaan ini belum memberikan tanggapan. Kepala Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida belum menjawab pesan singkat dari KONTAN.

Terlepas dari kekhawatiran terjadi bubble dan rasa ketidakadilan tersebut, seorang manajemen sekuritas mengatakan, transaksi margin saat ini relatif minim bukan lantaran sekuritas kekurangan dana untuk memberi fasilitas margin. Namun, lebih karena investor memang tak terlalu berminat untuk melakukan transaksi margin. "Uangnya ada, tapi investornya sendiri lesu," ungkap dia.

Lantas, apakah kehadiran PEI akan mampu mengungkit nilai transaksi di BEI sesuai dengan target BEI? "Kalau naik, mungkin iya. Tapi kalau sesuai target BEI, naik 25%-30%, saya rasa sulit. Sebab, kenaikan yang terjadi di kuartal terakhir 2016 pun lebih banyak didorong oleh amnesti pajak," prediksi sumber KONTAN tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×