Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Akhir bulan Mei 2016 ini secara efektif kewajiban perbankan melaporkan data kartu kredit nasabahnya mulai berlaku. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengaku sudah menyiapkan berbagai hal mengenai teknis pelaporan tersebut.
Namun, belum juga beleid itu efektif Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sudah mendapat kritik dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat pengguna kartu kredit hingga kalangan Perbankan. Nah, terkait hal tersebut Kasubdit Analisis Dampak Kebijakan Ditjen Pajak M. Hanif Arkani mengakui, memang harus lebih gencar melakukan sosialisasi atas kebijakan ini.
Terutama kepada masyarakat pengguna kartu kredit, agar tidak merasa takut data transaksinya disalahgunakan. Sebab, menurutnya, data transaksi yang dilaporkan hanya dijadikan dasar untuk membandingkan nilai aset antara yang dilaporkan dengan yang sebenarnya.
Ia berharap, semua pihak bisa mematuhi kebijakan itu karena akan berdampak pada perbaikan data perpajakan yang lebih baik. Dengan data perpajakan yang lebih baik, maka base line penyusunan targte penerimaan pajak akan lebih tepat.
Hanif berjanji, bahwa pihaknya akan terus mengevaluasi kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 39 Tahun 2016 itu. Evaluasi itu terkait dengan efektifitas kebijakan terhadap ahsil yang ingin dicapai. "Evaluasi akan dilakukan setiap saat," ujar Hanif, Rabu (25/5) di Jakarta.
Menurutnya, tidak menutup kemungkinan kebijakan tersebut akan disempurnakan jika memang hasilnya tidak optimal. Termasuk, jika harus melakukan pembatasan nominal transaksi yang harus dilaporkan. Saat ini, aturannya memang mengharuskan seluruh transaksi kartu kredit tanpa batasan nominal wajib dilaporkan setiap bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News