Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi likuiditas perbankan saat ini masih bisa dibilang stabil. Hal ini tercermin dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan masih naik 8,87% secara year on year (yoy) menjadi Rp 6.174,6 triliun.
Namun kalau dilihat berdasarkan bank umum kelompok usaha (BUKU) tercatat mayoritas DPK disumbang oleh kelompok BUKU II dan BUKU IV yang masing-masing mencatat kenaikan 7,95% dan 11,34% secara tahunan. Di sisi lain, kendati lebih rendah sejatinya BUKU III masih naik 4,75% yoy Mei 2020. Namun sebaliknya, DPK di kelompok BUKU I malah menurut 3,44% yoy.
Baca Juga: Bank BUKU IV klaim masih punya likuiditas yang sangat kuat
Melihat fakta tersebut, Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Ryan Kiryanto menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan likuiditas bank kecil dan menengah mengalami perlambatan. Sebab, secara logika kondisi krisis ekonomi yang diakibatkan dari krisis kesehatan memang memukul perbankan secara industri.
Namun, secara umum sejatinya kondisi likuiditas masih terbilang sangat aman untuk memenuhi kebutuhan hingga akhir tahun. Pun, bila sekiranya terjadi potensi pengetatan, regulator dan bank sentral pun tidak akan tinggal diam.
"Bank Indonesia selalu stand by menopang likuiditas bank, baik secara industri maupun individual. BI bisa menetralisasi atau menormalkan sekiranya terjadi tanda-tanda pengetatan," katanya kepada Kontan.co.id, Rabu (8/7).
Lebih lanjut Dia menambahkan, pengetatan likuiditas di BUKU I juga bisa disebabkan oleh tingginya permintaan restrukturisasi oleh debitur. Pasalnya, dari sisi permodalan dan ketahanan likuiditas tentunya BUKU I lebih lemah kalau dibandingkan dengan BUKU IV.
Baca Juga: Meski kredit dijamin pemerintah, bank swasta pilih berhati-hati dalam berekspansi
"Profil debiturnya setiap bank itu beda-beda. Tapi ini adalah konsekuensi dari adanya persaingan terbuka atau open competition," ujarnya.
Tapi di samping itu semua, bisa saja terjadi pergeseran dana dari bank kecil ke bank besar sesuai dengan perspektif masing-masing nasabah. Hal ini menurut Ryan memang wajar terjadi, pasalnya perbankan merupakan industri yang digerakkan oleh pasar.
Singkatnya, nasabah lah pada akhirnya yang memutuskan tempatnya untuk menitipkan dananya sesuai dengan penilaian masing-masing. Lagi-lagi hal ini terjadi karena persaingan terbuka, dan ditambah adanya pandemi Covid-19 membuat penilaian nasabah pun berubah-ubah terhadap perbankan.
Baca Juga: Optimalkan dana PEN, Bank Mandiri fokus garap sektor pendukung padat karya
Dus, hal ini menjadi sebuah kewajiban bagi pengurus bank, maupun pemegang saham perbankan untuk memantau likuiditas. Apalagi, industri perbankan adalah industri yang padat modal, dengan kebutuhan akan pendanaan dan likuiditas yang tentu semakin besar dari waktu ke waktu. "Capital Planning dan Liquidity Planning itu harga mati," tegasnya.
Ryan juga mengilustrasikan, sepanjang sejarah perbankan di Indonesia tidak ada satu bank pun yang tutup karena permasalahan non performing loan (NPL), tetapi sejarah mencatat banyak bank yang terpaksa tutup ketika diterpa krisis pada tahun 1997-1998 akibat permasalahan likuiditas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News