kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

DPK minim, bank sulit beri kredit infrastruktur


Rabu, 03 September 2014 / 12:34 WIB
DPK minim, bank sulit beri kredit infrastruktur
ILUSTRASI. Kode Redeem Summoners War Chronicles Maret 2023, Lengkap dengan Cara Klaim


Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Bank Mandiri mengakui industri perbankan masih lemah dalam hal pembiayaan infrastruktur. Hal ini disebabkan masih minimnya sumber pendanaan yang dimiliki perbankan nasional saat ini.

Menurut Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Bank Mandiri, penyebab utama sumber pendanaan perbankan dari masyarakat masih sangat kecil. "Dari 250 juta penduduk Indonesia, hanya 50 juta warga yang baru punya rekening di bank," kata Budi di Jakarta, Rabu (3/9).

Budi menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia membutuhkan pembiayaan sekitar Rp 800 triliun setipa tahunnya. Sementara alokasi dari APBN hanya Rp 200 triliun. "Disini perbankan kita ada problem likuiditas. Waktu 10 tahun yang lalu, LDR perbankan nasional masih 86%. Sekarang sudah menembus 90%. Faktanya perbankan kita memang tidak punya uang untuk bangun infrastruktur," ujar Budi.

Dengan LDR yang sudah menembus 90%, kredit perbankan hanya bisa tumbuh sesuai pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang tahun ini sekitar 10% - 15%. Perbankan sulit menggenjot kredit, termasuk infrastruktur.

Persoalan lain adalah permodalan perbankan Indonesia terlalu terbatas. Budi mencontohkan, untuk proyek PLN sebagai BUMN terbesar kedua di Indonesia, setidaknya membutuhkan pembiayaan dari 70 bank di Indonesia. Tidak cukup mengandalkan kalangan bank BUMN. Padahal Bank BUMN masih harus menyetor dividen pada pemerintah.

"Di satu sisi, pemerintah tidak mau right issue, karena sahamnya tidak mau terdilusi di bawah 50%," tukas Budi.

Kedepan, Budi menegaskan Indonesia perlu mencari alternatif agar DPK dari warga negara di Indonesia bisa kembali masuk ke perbankan Indonesia. Sebagai contoh di Singapura, ada US$ 150 miliar milik individu Indonesia yang setara Rp 1500 triliun.

Ditambah dana korporasi asal Indonesia di perbankan Singapura, nilai totalnya bisa mencapai Rp 3.600 triliun. "Kalau berhasil dibawa kembali, DPK sangat besar ini bisa jadi tambahan untuk pembiayaan perbankan untuk infrastruktur," pungkas Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×