Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) pada 26 September lalu. Bursa Karbon merupakan perdagangan karbon yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK).
Pembuatan bursa karbon ini merupakan bagian dari rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II 2021 - 2023.
Komitmen tersebut ditunjukkan untuk membuka peluang dalam penerimaan pendanaan atau investasi di industri hijau yang lebih luas lagi.
Mengacu pada Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023, bursa karbon adalah suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.
Baca Juga: Grant Thornton Dukung Kemudahan Layanan Pajak Terbaru Core Tax Administration System
Sedangkan definisi perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui kegiatan jual beli unit karbon.
Presiden Jokowi menyampaikan Bursa Karbon Indonesia merupakan kontribusi nyata Indonesia untuk berjuang bersama dunia melawan krisis akibat perubahan iklim karena hasil perdagangan karbon akan direinvestasikan pada upaya menjaga lingkungan khususnya pengurangan emisi karbon.
Selain itu, Presiden pun melihat potensi ekonomi dengan adanya perdagangan karbon ini yang diperkirakan berkisar Rp 3.000 triliun yang diukur atas potensi kredit karbon sebesar 1 giga ton CO2.
Tidak hanya itu, sebagai wujud komitmen Indonesia dalam menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Pemerintah pun sedang dalam proses mematangkan implementasi pajak karbon di Indonesia yang diperkirakan akan mulai berjalan pada tahun 2025.
Seperti diketahui, pengenaan pajak karbon telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Baca Juga: Grant Thornton berharap, pengusaha menjaga momentum pertumbuhan hingga akhir tahun
Dalam hal ini, pajak karbon akan dikenakan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
“Kami sangat mengapresiasi langkah pemerintah dalam pembentukan bursa perdagangan karbon ini, yang tentunya semakin melengkapi instrumen-instrumen pengurangan emisi yang telah diatur oleh pemerintah sebelumnya. Kehadiran bursa karbon ini dapat menjadi fondasi dasar bagi terciptanya ekosistem perdagangan karbon yang nantinya akan terintegrasi dengan aturan pajak karbon,” kata Ciwi Paino, Assurance & Advisory Partner Grant Thornton Indonesia dalam siaran persnya, Kamis (12/10).
Namun di sisi lain, masih ada tantangan nyata bagi Indonesia dalam mewujudkan ekonomi hijau dan berkelanjutan di Indonesia, seperti banyaknya masyarakat dan juga perusahaan yang belum memahami dan menyadari terkait pentingnya bursa karbon.
Ciwi Paino menambahkan, perlu adanya kesiapan dari pemerintah dalam menciptakan regulasi dan mekanisme perdagangan karbon serta pengaturan harga karbon yang baik dalam rangka mendukung terselenggaranya pasar karbon yang efektif dan efisien.
Baca Juga: BEI: IDXCarbon Hadir Sebagai Upaya Indonesia Mencapai Nol Emisi Karbon
“Grant Thornton memiliki komitmen kuat dalam mendukung pemerintah mewujudkan strategi Net Zero Emission. Adapun salah satu bentuk komitmen kami yaitu dengan mengadakan berbagai seminar edukasi mengenai aspek Environmental, Social, and Governance (ESG). Pada beberapa waktu lalu, kami telah mengadakan seminar berjudul “Understanding Key Aspects of ESG Accounting in Indonesia” yang kami harapkan dapat membantu perusahaan - perusahaan dalam menetapkan strategi dan manajemen keberlanjutan serta membantu menyiapkan maupun meninjau laporan keberlanjutan mereka,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News