Reporter: Anastasia Lilin Y, Arief Ardiansyah, Fransiska Firlana, Tri Sulistiowati | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Nyaris tak ada yang salah dalam aturan Bank Indonesia tentang batas pemberian kredit alias loan to value (LTV) . Lihat saja, pada 15 Maret 2012, BI merilis Surat Edaran No. 14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian KPR dan Kredit Kendaraan Bermotor. Dalam surat tersebut, regulator membatasi besaran LTV maksimal 70% pada saat awal pemberian kredit. Artinya, nasabah harus menyiapkan uang muka atau down payment (DP) minimal 30% dari harga rumah sebelum berutang ke bank.
Aturan ini berlaku bagi penyaluran KPR dengan tipe hunian seluas di atas 70 meter persegi (m²). Adapun ruang lingkup KPR ini meliputi kredit konsumsi kepemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen, tapi tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko.
Secara resmi aturan ini berlaku pada 15 Juni 2012. Dalam sekejap, aturan ini mampu mempengaruhi penyaluran kredit konsumsi, khususnya KPR. Statistik Perbankan Indonesia dari terbitan Bank Indonesia (BI) menyatakan puncak penyaluran KPR tahun 2012 mencapai tercapai puncak pada bulan Juni, senilai Rp 213,5 triliun. Angka penyaluran KPR bulanan berikutnya terus mengalami penurunan dengan titik terendah di bulan September.
Lalu, angka penyaluran KPR mulai naik dan pada Januari 2013 sudah hampir menyamai besaran KPR bulan Juni 2012. Setelah itu, penyaluran KPR terus membesar. Pada Mei 2013, tercatat penyaluran KPR mencapai Rp 229,3 triliun.
Dari sini regulator perbankan mulai merasa kebijakan uang muka 30% dari nilai KPR tak lagi efektif memperlambat laju penyaluran kredit properti. “Penyempurnaan kredit properti akan segera diputuskan di Rapat Dewan Gubernur,” ujar Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, awal Juli lalu.
Pelambatan kredit pada paruh kedua 2012 tak mengoreksi harga, tapi justru harga rumah terus naik. Lantaran harga rumah terus merambat naik, konsumen kalap membeli rumah. Ada yang memang karena kebutuhan. Namun tak sedikit yang berinvestasi, walau dengan aroma spekulasi yang kental.
Apalagi saat BI mencermati data penyaluran KPR perbankan. Pada bulan Mei, ada 35.200 debitur yang memiliki KPR lebih dari satu rumah. Yang agak mencengangkan, BI menemukan 3.884 debitur yang memiliki KPR 3-9 rumah sekaligus.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A. Johansyah menilai kenaikan harga properti ini karena ada ulah spekulan di dalamnya. Berbekal uang muka, mereka membeli rumah secara kredit dan menjual kembali rumah setelah harga naik tinggi. “Kami harus mengeluarkan kebijakan agar bank tidak terkena dampak dari ulah spekulan,” kata Difi .
Inilah yang mendasari BI berencana menyempurnakan aturan kredit properti. Kembali, BI fokus mengendalikan pembelian rumah tipe di atas 70 m². Maklum, April lalu, KPR untuk tipe rumah ini tumbuh 45%.
Ada beberapa skema kebijakan yang disiapkan BI. Di antaranya adalah pengenaan pajak lebih tinggi pada rumah mewah, pemberlakuan jangka waktu kepemilikan sebelum rumah dijual kembali, pengetatan LTV, hingga pengenaan LTV berbeda tiap daerah. Semua skim ini memiliki keuntungan dan kesulitan masing-masing.
Sepertinya, BI memilih kebijakan pengetatan atau penurunan besaran LTV untuk KPR rumah kedua dan seterusnya. Aturan ini menyempurkan beleid sebelumnya yang membatasi LTV 70% dari kredit.
Untuk debitur yang akan membeli rumah kedua secara kredit, harus menyiapkan uang muka 40% dan 50% untuk rumah ketiga. Rencananya, BI akan memberlakukan aturan ini pada September nanti.
Alasan lain BI merilis aturan ini, ungkap Difi , agar bank mau menyalurkan kredit untuk tipe rumah kecil bagi masyarakat bawah. Saat kredit untuk rumah tipe 70 m² melambung, pertumbuhan kredit rumah tipe kecil justru menyusut. “Penyaluran kredit rumah kecil tak banyak tapi harga rumah di segmen ini ikut terseret naik,” kata Difi.
Efek sesaat
Direktur Keuangan PT Bank Danamon Tbk Vera Eve Lim menilai besaran 70% LTV untuk KPR memang belum maksimal mengerem laju permintaan KPR. Apalagi, banyak bank menawarkan bunga murah. Ini membuat konsumen dan bank tidak ambil pusing dengan aturan tersebut. Vera menganggap sudah sewajarnya bila regulator merevisi aturan LTV tersebut sesuai kondisi terkini. Upaya ini agar KPR tidak tumbuh dengan berlebihan. “Kami menginginkan kredit di semua sektor tumbuh sustainable,” kata Vera.
Direktur Konsumer PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Henry Koenaifi sependapat dengan Vera. Meski begitu, dia yakin aturan penurunan LTV untuk KPR kedua dan seterusnya ini tidak terlalu berdampak bagi industri perbankan.
Saat ini para bankir masih menunggu keputusan resmi aturan LTV dari BI. Dia memprediksi akan terjadi perlambatan permintaan KPR, walau kecil. Dia mencontohkan, saat ini, nasabah BCA yang memiliki lebih dari satu KPR hanya 10% dari total nasabah KPR BCA. “Jumlahnya kecil tapi pasti ada dampaknya, meski juga kecil,” kata Henry.
Jumlah nasabah yang memiliki KPR lebih dari satu juga tak banyak di PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN). Direktur BTN Mansyur Syamsuri Nasution bilang, nasabahnya yang memiliki KPR lebih dari satu tidak lebih dari 1%. “Ketentuan itu bila diberlakukan tidak akan berpengaruh pada bisnis KPR di BTN,” kata Mansyur.
Terlebih, menurut Direktur Keuangan BTN Saut Pardede, mayoritas KPR BTN itu untuk tipe rumah di bawah 70 m² dan untuk kepemilikan rumah pertama. Saut mengaku juga memiliki produk KPR untuk rumah kedua dan seterusnya. Nasabah seperti itu yang akan terpengaruh kebijakan baru BI. “Secara keseluruhan, dampaknya tidak besar karena kami fokus di rumah subsidi dan perumahan menengah,” kata Saut.
Direktur Utama PT Bank Jabar Banten Tbk (BJB) Bien Subiantoro memberi acungan jempol atas rencana BI memperketat batas LTV. Kredit perbankan memang tidak seharusnya digunakan untuk spekulasi. “Saya justru terkejut dengan penemuan BI tersebut, ada nasabah yang memiliki 9 KPR sekaligus,” ujar Bien.
Vice President Consumer Finance PT Bank Mandiri Tbk Tardi mengatakan pengaruh ketentuan LTV ini ke bisnis KPR hanya sesaat. Ini terlihat pada aturan pertama yang berlaku tahun lalu. “Ada efek sebentar tapi kembali normal karena permintaan rumah memang masih tinggi,” kata Tardi.
Saat ini, nasabah KPR Bank Mandiri ada 300.000 nasabah. Dari jumlah tersebut yang memiliki KPR dari satu ada 6.000 nasabah. Tardi memastikan nasabah yang memiliki lebih dari satu KPR memiliki rekam jejak yang terbaik.
Siap mengantisipasi
Manajer Umum Komunikasi PT Metropolitan Land Tbk Wahyu Sulistio mengaku tak terlalu panik dengan rencana BI kembali mengatur besaran LTV. Dia mengaku, portofolio perumahan Metropolitan saat ini bertipe di bawah 70 m². “Kami belum berencana merevisi target perusahaan,” kata Wahyu.
Lebih jauh, dia menilai aturan pembatasan berbasis luas bangunan ini kurang efektif. Luas bangunan bisa sama, tapi harganya berbeda karena berada di lokasi yang berbeda pula.
Dampak minimal atas aturan LTV dari BI juga dirasakan Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi. Aturan LTV yang mengharuskan setoran uang muka 30% dari nasabah nyaris tak berdampak bagi Ciputra. Padahal, hampir semua rumah tapak Ciputra berukuran di atas 70 m². Perbandingan pembeli rumah Ciputra Group dengan KPR dan tunai itu 55:45.
Meski begitu, Harun sudah menyiapkan langkah antisipasi bila ternyata aturan ini nanti berdampak besar di lapangan. Dia mencontohkan strategi cicilan uang muka bagi konsumen dan memperpanjang tenor pembayaran untuk pembelian tunai bertahap bisa diberlakukan. “Kami tetap optimistis bisa meraih target penjualan Rp 10 triliun pada tahun ini,” kata Harun.
Direktur Century 21 Pertiwi Ali Hanafia menilai kebijakan BI ini bisa ditafsirkan bentuk ketidakpercayadirian pemerintah terhadap pertumbuhan bisnis properti di dalam negeri. “Tahun ini, harga properti hanya akan tumbuh 20%-30% saja,” kata Ali.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 43 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News