Reporter: Ferrika Sari | Editor: Narita Indrastiti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah langkah dilakukan oleh pemerintah untuk untuk menutup defisit dari Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini dilakukan oleh empat perusahaan jaminan sosial yang saling bersinergi antarlembaga, mereka adalah Jasa Raharja, BPJS Ketenagakerjaan, ASABRI dan Taspen.
Direktur Utama Jasa Raharja Budi Rahardjo S mengatakan, bentuk sinergi yang dilakukan Jasa Raharja untuk membantu BPJS Kesehatan, dengan menanggung pembayaran perawatan apabila terjadi kecelakaan lalu lintas. Namun, jumlah pembayaran yang ditanggung Jasa Raharja maksimal Rp 20 juta.
“Jika di atas Rp 20 juta akan menjadi urusan dari BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan. Tapi, kami menjadi pihak pertama yang akan mengurusi dan membayarkan korban luka-luka di rumah sakit,” kata Budi kepada Kontan.co.d, Rabu (19/9).
Menurutnya, Jasa Raharja tidak bisa memberikan suntikan dana secara langsung kepada pihak BPJS Kesahatan. Saat ini Kemetrian Keuangan tengah menyusun Peraturan Menteri Keuangan (PMK), terkait sinergitas dengan program jaminan sosial dalam menutupi defisit BPJS Kesehatan, dengan BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, Asabri dan Jasa Rasaharja.
“Kami berharap dengan adanya PMK ini akan jelas peranan di tiap masing-masing perusahaan. Apalagi kami sudah beberapa kali rapat terkait peraturan tersebut untuk menyamakan persepsi dan kewenangan antara kewajiban dan hak di tiap lembaga,” jelas dia.
Direktur Utama Taspen Iqbal Latanro mengatakan siap menjalanan aturan tersebut, meskipun dia belum mengatahui detil aturan tersebut. Selama ini, ia mengaku telah bersinergi untuk membantu pembiayaan BPJS Kesehatan, dengan mengcover tanggungan pegawai negeri di program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Taspen, yang sudah dilakukan sejak tahun 2015.
“Kalau kecelakaan lalu lintas di hari pertama menjadi urusan Jasa Raharja, tetapi setelah hari kedua menjadi urusan Taspen. Misalnya, terjadi kecelakaan kerja ketika berlalu lintas ke kantor bisa melalui JKK,” jelas dia.
Direktur ASABRI Hari Setianto mengaku belum mengatahui isi dan skema kerja dari PMK. Tapi terus bersinergi dengan BPJS Kesehatan tentang layanan kesehatan pensiunan TNI dan Polri melalui iuran yang mereka bayarkan ke perusahaan, sekitar 2% dari dana pensiun mereka.
“Kalau ada anggota POLRI atau TNI melakukan kecelakaan kerja dan dirawat, maka kita ada pembagian penanggungan biaya perawatan. Kalau yang akibat kecelakaan kerja, ditanggung ASABRI, kalau akibat penyakit bawan ditanggung BPJS Kesehatan,” jelasnya.
Ia menjelaskan secara detil, jika terjadi kecelakaan lalu lintas maka biaya perawatan maksimal Rp 20 juta menjadi tanggung jawab Jasa Raharja, sisanya ditanggung ASABRI.
Namun, jika masih dirawat karena penyakit bawaan menjadi tanggungan BPJS Kesehatan. Tahun lalu ASABRI mencatat pembayaran klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 2017 mencapai Rp 41 miliar, itu sudah termasuk perawatan, santunan dan meninggal dunia.
Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja mengaku telah menandatangani nota kesepahaman dengan BPJS Kesehatan terkait kecelakaan kerja dan jenis penyakit apa saja yang menjadi tanggungan perusahaan.
“Sebenarnya yang dapat membantu meringankan klaim di BPJS Kesehatan pada kasus yang terkait kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Syarat tentunya korban harus peserta BPJS Ketenagakerjaan, itulah yang mendasari kami mengajukan PBI untuk kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan,” kata dia.
Ia berharap, melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk pekerja retan oleh pemerintah agar terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan, sehingga kasus kecelakaan kerja dan penyakit bisa dialihkan, karena sebagian besar peserta BPJS Kesehatan merupakan perserta iuran PBI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News