Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Likuiditas perbankan akan bakal mengalami pengetatan seiring dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), normalisasi kebijakan giro wajib minimum (GWM), dan permintaan kredit yang semakin meningkat.
Apalagi laju pertumbuhan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan juga semakin melandai. BI mencatat DPK perbankan per Agustus hanya tumbuh 7,77% secara year on year (YoY), ini melambat dari bulan sebelumnya yang tercatat tumbuh 8,59%. Sedangkan kredit terpantau tumbuh 10,6%, turun tipis dari Juli yang tumbuh 10,7%.
Gubernur BI Perry Wajiyo dalam paparannya pada Kamis (22/9) menyebut bahwa kondisi likuditas perbankan masih terjaga walaupun pertumbuhan DPK semakin menipis.
Ia bilang, perlambatan DPK itu terjadi karena adanya peningkatan konsumsi masyarakat dan belanja modal korporasi, serta adanya perbuahan preferensi penempatan dana pada aset keuangan lain seperti surat berharga negara (SBN).
Baca Juga: Jarak Laju Kredit dan DPK Perbankan Semakin Melebar
Namun, tingginya gap antara laju pertumbuhan kredit dan DPK perlu diwaspadai karena likuiditas bisa semakin cepat mengetat. Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan, jika gap ini terus berlanjut maka potensi kenaikan LDR akan semakin tinggi walaupun saat ini LDR bank besar masih di bawah 90%.
"Ini bisa menggerus likuiditas bank, apalagi saat ini bunga tabungan bisa sampai 0%," katanya pada Kontan.co.id, Minggu (25/9).
Menurutnya, faktor yang membuat gap itu tinggi karena managemen bank di satu sisi ingin mengejar target pertumbuhan laba dan pertumbuhan kredit dengan tentu memperhatikan resiko secara terukur.
Selain itu, tingkat suku bunga dana di bank, terutama tabungan, yang rendah dari obligasi ritel bisa membuat masyarakt mengalihkan dananya dari bank ke obligasi ritel atau reksadana yang imbal hasilnya lebih tinggi. Trioksa melihat faktor ini akan menambah tekanan likuiditas.
Oleh karena itu, bank menurutnya perlu menaikkan suku bunga simpanan untuk menjaga pertumbuhan DPK, apalagi BI sudah menaikkan suku bunga.
Baca Juga: Laju Kredit dan DPK Perbankan Sama-sama Melambat pada Agustus
Sementara itu, penyesuaian secara bertahap GWM Rupiah dan pemberian insentif GWM sejak 1 Maret sampai 15 September 2022 telah menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp269,3 triliun.
Namun, BI menyebutkan bahwa penyerapan likuiditas tersebut tidak mengurangi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit maupun partisipasi dalam pemelian SBN untuk pembiayaan APBN. Pada Agustus 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 26,52%.
Bank Mandiri mengakui bahwa kenaikan GWM akan menurunkan perseroan. Corporate Secretary Bank Mandir Rudi AS Aturridha memproyeksikan akan terjadi penurunan likuiditas perbankan ke level Rp 350 triliun hingga Rp 400 triliun dengan adanya kenaikan itu.
Kendati begitu, level likuiditas tersebut masih lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum pandemi yang hanya mencapai sekitar Rp 250 triliun. Oleh karena itu, Bank Mandiri memproyeksikan bahwa industri perbankan akan masih tetap memiliki likuiditas yang cukup, baik untuk memenuhi kenaikan GWM maupun kebutuhan bisnis lainnya.
Bank Mandiri memproyeksikan bisnis masih akan tetap tumbuh mengingat bahwa secara umum perbankan masih memiliki likuiditas yang cukup untuk melakukan ekspansi bisnis sejalan dengan pemulihan ekonomi Indonesia.
Baca Juga: DPK Perbankan Melambat, Ini Penjelasan BI
"Bank Mandiri akan selalu menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dan ekspansi kredit yang sehat. Selain itu, Bank Mandiri juga senantiasa menjaga pertumbuhan DPK sesuai dengan target yang direncanakan agar dapat menyokong pertumbuhan kredit sehingga pengelolaan likuiditas dapat dilakukan secara prudent dan optimal,” pungkas Rudy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News