Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Maraknya pencabutan izin usaha membuat kinerja industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) terlihat sempoyongan. Ini tercermin dari likuiditas BPR yang mulai mengetat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per November 2024, dana pihak ketiga (DPK) BPR tumbuh 4,56% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp 143,25 triliun. Walau demikian, pertumbuhan ini lebih rendah dari pencapaian DPK bank secara umum di November 2024 yang tumbuh 6,3% yoy.
Sementara, penyaluran kredit BPR tumbuh 5,63% yoy secara tahunan menjadi Rp 148,08 triliun. Pertumbuhan ini juga terlihat berada d bawah pertumbuhan industri yang tumbuh 10,1% yoy per November 2024.
Baca Juga: Enam BPR Telah Terhubung ke Layanan Jaringan Prima
Selama ini Bank Perekonomian dipilih untuk simpan dana karena bunganya lebih tinggi dari bank umum dan instrumen investasi lain yang risikonya kecil. Tapi sekarang BPR harus dihadapkan dengan persaingan dengan instrumen investasi seperti surat berharga yang bunganya sampai 7%.
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menilai, tantangan bagi BPR semakin berat dalam kondisi rate yang bersaing.
"BPR perlu melakukan konsolidasi untuk memperkuat permodalan dan likuiditas BPR bila dirasa memang kondisinya akan membutuhkan penopang untuk likuiditas," kata Trioksa kepada Kontan.co.id, Jumat (7/2).
Selain itu, alternatif lain untuk menjaga likuiditasnya adalah dengan menaikkan bunga yang dapat berdampak pada membengkaknya biaya dana dan harus didukung dengan penyaluran dana dengan rate yang dapat mengcover biaya dana namun berkualitas baik.
"Tentu ini tidak mudah. Disamping itu, BPR juga perlu menjaga efisiensi operasional," ujarnya.
Baca Juga: 330 BPR Dapat Dana Deposito Rp 8,8 Triliun dari DepositoBPR by Komunal di 2024
Ketua umum Kompartemen BPR Syariah Asbisindo, Cahyo Kartiko pun mengakui, bahwa saat ini industri BPR-BPRS menghadapi persaingan yang cukup ketat khususnya dalam hal penghimpunan dana masyarakat.
"Dalam pengamatan kami, BPR-BPRS yang memiliki basis nasabah yang kuat berbasis komunikasi relatif lebih baik kondisi likuiditas nya. Misalnya BPRS yang memiliki basis nasabah di pasar-pasar tradisional, lembaga pendidikan atau komunitas-komunitas yang lain," terangnya.
Sedangkan kata Cahyo, BPR-BPRS yang basis nasabahnya lebih umum memiliki tantangan yang cukup berat karena harus bersaing dengan lembaga keuangan lain dan instrumen investasi pemerintah yang memiliki imbal hasil sama atau lebih tinggi.
"Apabila hanya mengandalkan sisi imbal hasil, maka BPR-BPRS akan sulit bersaing menghimpun dana masyarakat sehingga diperlukan strategi lain seperti pelayanan maupun fitur-fitur khas BPR-BPRS yang tidak dimiliki oleh yang lain," ungkapnya.
Segendang sepenarian,Direktur Utama BPR Hasamitra I Nyoman Supartha yang akrab disapa Mansu juga menyebut secara umum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) akan menghadapi tantangan likuiditas yang signifikan.
Terutama, Mansu bilang dengan meningkatnya suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) hingga mencapai 7%, yang menawarkan alternatif investasi menarik bagi masyarakat. Situasi ini menimbulkan persaingan ketat bagi BPR dalam menghimpun dana dari masyarakat.
Sementara BPR Hasamitra dinilai telah menunjukkan kinerja yang solid dalam beberapa tahun terakhir. Per 8 Feb 2025 aset BPR Hasamitra mencapai Rp 2,997 triliun, tumbuh 2,54% dibandingkan posisi Desember 2024.
Penyaluran kredit juga meningkat sebesar 0,3% menjadi Rp 2.676 triliun. DPK sebesar 2,197 triliun, tumbuh 3,14%. Cash Ratio BPR Hasamitra berada di level 9,21%, menunjukkan likuiditas yang cukup baik. Loan to Deposit Ratio (LDR) tercatat sebesar 120,33%. Laba tumbuh 19,5% atau sebesar Rp 11,392 miliar.
Mansu menerangkan, untuk menghadapi tantangan likuiditas dengan instrumen investasi seperti SBN, BPR Hasamitra akan menerapkan strategi seperti, pengembangkan produk keuangan yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan nasabah, seperti tabungan berjangka dengan fitur fleksibel atau produk investasi yang kompetitif.
Baca Juga: Jumlah BPR Kian Susut, Otoritas Ingin Pastikan BPR yang Tersisa Berkualitas
Selain itu, meningkatkan efisiensi operasional dan memberikan kemudahan bagi nasabah dalam bertransaksi, sehingga dapat menarik lebih banyak dana pihak ketiga, memastikan manajemen risiko yang baik dengan menjaga kualitas aset, likuiditas, dan mematuhi regulasi yang ditetapkan oleh otoritas terkait.
Pihaknya juga akan memperkuat hubungan dengan komunitas lokal untuk memahami kebutuhan mereka dan menawarkan solusi keuangan yang tepat, sehingga dapat meningkatkan loyalitas nasabah, dan mengoptimalkan proses operasional untuk menekan biaya dan meningkatkan profitabilitas, sehingga dapat menawarkan suku bunga yang lebih kompetitif kepada nasabah.
Asal tahu saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin usaha dari 20 bank perkreditan rakyat (BPR) sepanjang 2024. Hal ini dapat memunculkan kekhawatiran mengenai stabilitas BPR. Penutupan bank dalam jumlah yang signifikan juga menunjukkan bahwa upaya penyehatan di sektor BPR dan BPRS masih belum optimal.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae memproyeksikan, pada tahun 2025 BPR akan menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari dinamika ekonomi global dan domestik,adopsi teknologi informasi yang semakin masif, hingga persaingan yang semakin ketat khususnya pada likuiditas juga penyaluran kredit atau pembiayaan kepada segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"BPR diharapkan memiliki ketahanan dan daya saing yang kuat, sehingga dapat mempertahankan kinerja dan eksistensinya," ujar Dian.
Selanjutnya: Bauran Energi Surya Digeber dalam RPP KEN, Target Capai 32% di Tahun 2060
Menarik Dibaca: Tingkatkan TKDN, FAT Gas Compressor Hadir di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News