Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Industri perasuransian tengah menggodok aturan lebih lanjut terkait aturan yang lebih detail perusahaan yang masuk Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas (KPPE) maupun Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi (KUPA).
Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Djonieri mengatakan asosiasi sekarang lagi diskusi bagaimana menyikapi ketentuan terkait KPPE dan KUPA.
“KPPE misalnya, bagaimana implementasi regulasinya, nanti KPPE 2 bisa melakukan penjualan semua produk atau produk yang lebih kompleks, itu nanti kita atur di SEOJK. Setelah ini kita akan buat SE nya secara lebih detail,” ujarnya dalam Webinar Dampak POJK 23/2023.
Baca Juga: AAUI Sebut Ada 12 Perusahaan yang Punya Ekuitas di Bawah Rp 250 Miliar
Djonieri memahami, dalam membentuk SEOJK terkait pendalaman klaster ini diperlukan komuniasi dua arah antara regulator dengan pelaku industri.
“Kita setuju harus komunikasi dua arah dan itu yang sudah kita lakukan, untuk mendapat masukan dari industri jadi kita gak asal buat regulasi tanpa masukan asosiasi,” tandasnya.
Ketua Umum Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan menyampaikan pihaknya mendukung hadirnya POJK tersebut, namun ia tak memungkiri terdapat beberapa perusahaan yang tak bisa masuk dalam klasterisasi ini terutama di tahun 2028, di mana kenaikan ekuitas minimum semakin tinggi.
“Saat ini kami masih menunggu waktu, bagaimana kita merumuskan KPPE1 dan KPPE 2 maupun KUPA 1 dan KUPA 2 implementasinya seperti apa,” terangnya.
Budi mengungkapkan, POJK 23/2023 seyogyanya membantu untuk penguatan industri perasuransian. Menurutnya, ini adalah momentum bagi asuransi umum khususnya melakukan transformasi dan reformasi.
Dia menyebutkan, berdasarkan data yang dimiliki AAUI saat ini terdapat 12 perusahaan asuransi umum yang memiliki ekuitas di bawah Rp 250 miliar, artinya perusahaan tersebut tak mencukupi aturan permodalan minimum yang diwajibkan hingga akhir tahun 2026.
“Ini tantangan bagi kita, dari analisa statistik dan data yang ada di kami hitungannya kurang lebih antara 12 perusahaan yang harus kita coba lihat bagaimana mereka bisa survive menuju ekuitas Rp 250 miliar (di 2026),” sebutnya.
Budi berharap, perusahaan-perusahaan tersebut secara organik bisa lolos dari ketentuan modal minimum tersebut.
“Saat ini kami lagi berkomunikasi dengan pihak-pihak ketiga bagaimana mereka bisa menjadi holding dari perusahaan-perusahaan yang nantinya ‘terdelusi’,” terangnya.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon menyebutkan pihaknya juga tengan mendiskusikan ulang terkait detail KPPE dan KUPA tersebut.
“Kami coba bahas dan diskusi dengan regulator misalnya yang belum memenuhi boleh terus beroperasi tapi jangan yang kompleks, nah yang tidak kompleks ini definisinya apa ini yang nanti dibahas lebih lanjut,” katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis (25/1).
Budi mengungkapkan, naiknya modal minimum ini secara objektif akan baik untuk pelaku industri asuransi jiwa. Menurutnya, turunnya POJK 23/2023 ini bukan suatu yang mengejutkan sebab pihaknya juga turut memberi masukan.
“Asosiasi diberikan kesempatan untuk memberi masukan, sejujurnya ketika kita melihat POJK yang baru keluar ini sebagian masukan asosiasi rasanya terakomodir,” ungkapnya.
Baca Juga: AAUI Tengah Godok Implementasi Klaster Perusahaan Asuransi Berdasarkan Modal
Budi menyebutkan, anggota AAJI hampir mencapai 60 perusahaan dari total tersebut yang masih memiliki ekuitas di bawah Rp 250 miliar yang harus dipenuhi paling lambat 31 Desember 2026 tidak sampai 10 perusahaan.
“Sedikit lah yang (punya ekuitas) Rp 100 miliar-Rp 200an miliar, pintu awal kan Rp 250 miliar dan dikasih waktu 2 tahun,” sebutnya.
Memang, lanjut Budi, sebelum aturan ini keluar beberapa yang menjadi perhatian pihaknya antara lain bila terjadi kenaikan tidak terlalu banyak dan jangka waktu yang diberikan untuk pemenuhan lebih panjang.
“Sekarang lihat hasilnya okelah cukup reasonable. Terakhir waktu itu yang kami perjuangkan kalaupun belum memenuhi boleh dong lanjut beroperasi tapi tidak seluas dengan perusahaan yang sudah memenuhi Rp 1 triliun,” katanya.
Lebih lanjut, Budi menambahkan, bagi perusahaan yang belum memenuhi ekuitas minimum Rp 250 miliar di 2026 harus memikirkan solusi penambahan modal. Namun, kata dia, penambahan modal bukan pilihan yang populer bagi investor atau pemilik perusahaan karena bisnisnya tengah menghadapi tantangan.
“Kalau kita lihat pendapatan premi tahun 2023 kan susut yang esensinya datang dari unitlink, sementara kalau bisnis lagi susut kemudian perusahaan minta tambah modal kepada pemegang saham, tentu pemegang saham akan berfikir dua atau tiga kali. Ini yang mungkin dalam waktu ke depan kita akan coba bicara dengan regulator,” tandasnya.
Kesiapan Pemain Jadi Induk KUPA
PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (Tugu Insurance) menyatakan siap menjadi induk KUPA yang termaktum dalam POJK 23/2023 yang mengatur tentang ekuitas minimum perasuransian.
Deputy Director Strategic Management & Corporate Development Tugu Insurance Kristy Damayanti menyampaikan bahwa saat ini perusahaan memiliki ekuitas sebesar Rp 6,7 triliun di Desember 2023.
Artinya Tugu Insurance telah berada di atas ketentuan ekuitas minimum KPPE 2. Di mana kategori ini mewajibkan perusahaan asuransi memiliki ekuitas minimum sebesar Rp 1 triliun dan Rp 2 triliun bagi perusahaan reasuransi di akhir tahun 2028.
“Kami akan menjajaki kemungkinan pembentukan KUPA dengan perusahaan asuransi dan reasuransi yang terafiliasi dengan kami di Tugu Group,” terangnya.
Kristy menjelaskan, beberapa perusahaan afiliasi Tugu Group memiliki ekuitas di bawah ketentuan minimum di tahun 2028, dengan kategori KPPE 1 atau untuk beraktifitas bisnis di KPPE 2 terdapat beberapa entitas yaitu PT Asuransi Samsung Tugu dan PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure) dengan ekuitas masing-masing saat ini Rp 398 miliar dan Rp 1,5 triliun.
“Terkait dengan pembentukan KUPA dengan perusahaan asuransi non grup saat ini kami masih mempertimbangkan peluangnya dan bentuk skemanya seperti apa, kami masih menunggu detail formal skema KUPA yang akan ditetapkan oleh OJK,” jelasnya.
Lebih lanjut, Kristy menambahkan, beberapa hal yang masih menjadi pertimbangan pihaknya dalam pembentukan KUPA antara lain, kontribusi positif yang dapat diberikan pada entitas perusahaan kepada KUPA, kesamaan visi misi seberapa besar peluang dan risiko yang mungkin ditimbulkan dari skema KUPA terhadap Tugu ke depannya.
Baca Juga: Terima 345 Aduan Soal Jasa Keuangan, YLKI: Fungsi Pengawasan OJK Belum Optimal
“Jadi secara umum kami berkomitmen penuh terhadap peraturan yang diberlakukan OJK dan berusaha memberikan support terbaik untuk industri asuransi Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu, PT BNI Life Insurance (BNI Life) menyebut KUPA jadi alternatif bagi beberapa perusahaan asuransi untuk memenuhi regulasi.
“Kembali lagi ke tujuannya, bahwa adanya KUPA dan KPPE ini adalah untuk memperkuat dan mendorong stabilitas dalam industri asuransi,” kata Plt. Direktur Utama BNI Life Eben Eser Nainggolan kepada KONTAN.
Eben bilang, POJK ini akan membawa dampak positif bagi industri dan mewujudkan terciptanya ekosistem industri perasuransian yang kuat dan sehat dari segi penguatan aspek permodalan, aspek kelembagaan serta aspek operasional penyelenggaraan usaha industri.
“Dengan adanya batas minimum ekuitas, maka hal ini dapat berdampak terjadinya merger atau akuisisi atas perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan,” imbuhnya.
Eben menuturkan, terkait dengan potensi menjadi induk KUPA, perusahaan saat ini belum mengambil sikap atas hal tersebut. Namun, dia bilang, pembentukan KUPA bisa menjadi alternatif bagi perusahaan untuk meningkatkan skala ekonomi Perusahaan, penguatan struktur, dan dalam menghadapi tantangan ke depan.
Lebih lanjut, dia bilang, total ekuitas BNI Life per Desember 2023 (unaudited) sebesar Rp 6,35 triliun atau tumbuh sekitar 5,6% secara tahunan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News