Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menilai mata uang virtual atau virtual currency memiliki risiko uang tinggi pada area sistem pembayaran, stabilitas sitem keuangan (SSK), anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU PPT) dan perlindungan konsumen.
Pasalnya, risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme menjadi hal yang digarisbawahi BI dikarenakan mekanisme transfer tidak melewati institusi formal yang memiliki sistem APU PPT sehinga tidak dapat dilakukan identifikasi dan monitoring terhadap pergerakan transaksi.
Selain itu, mekanisme transaksi mata uang virtual juga tidak dapat diidentifikasi alias pseudonimity. Transaksinya pun dilakukan secara cepat, mudah dan bahkan bisa lintas negara. Dus, hal ini menurut BI dapat menyulitkan para pemangku hukum untuk melakukan pembekuan atau penyitaan terkait kasus kejatahan.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni Panggabean juga menilai perlindungan konsumen sangat minim karena belum tedapat regulasi yang mengatur mata uang virtual serta tidak adanya pengelola yang jelas.
Tak hanya itu, mata uang virtual juga memiliki risiko konvertibilitas alias tidak ada jaminan penukaran dengan fiat money, apalagi dengan volatilitas harga yang tinggi. Pun, hal ini juga dapat mengganggu stabilitas sitem keuangan apabila terjadi bubble burst karena terdapat interasi antara virtual currency dan ekonomi riil.
"Kami memperingatkan seluruh pihak agar tidak melakukan transaksi jual beli atau memperdagangkan virtual currency," kata Eni di Jakarta, Senin (15/1).
Sebagai gambaran saja, saat ini BI mencatat ada lebih dari 1.400 mata uang kripto atau cryptocurrencies. Adapun, per 13 Januari 2017 kapitalisasi pasar mata uang digital masih didominasi oleh Bitcoin yang mencapai 33% atau mencapai US$ 246 miliar. Disusul oleh Ethereum sebesar US$ 133 miliar. Sementara secara total, market cap mata uang virtual kini telah mencapai US$ 752,54 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News