Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Ruisa Khoiriyah
JAKARTA. Pencarian jalan tengah yang sudah berjalan sejak tahun 2013 itu akhirnya membentur jalan buntu. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan pelaku industri asuransi kesehatan komersial tidak menemui kesepakatan dalam membahas skema koordinasi manfaat atau coordination of benefit (CoB).
Kabar tersebut tentu menjadi berita kurang enak, terlebih bagi pelaku industri asuransi komersial. Apa, sih, sebenarnya yang terjadi? Usut punya usut, rupanya memang banyak ganjalan yang justru kian meruncing setelah pembahasan CoB berlangsung cukup lama.
Sedikit merunut ke belakang, sebelum BPJS Kesehatan resmi berlaku 1 Januari 2014, pemerintah mengajak duduk industri asuransi, yang diwakili oleh Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), November 2013.
Dalam pertemuan itu, industri dan pemerintah menandatangin nota kesepahaman yang berisi tentang program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Bahwa JKN akan bisa diselenggarakan bersama-sama dengan asuransi kesehatan komersial,” cerita Adi Purnomo Wijaya, Wakil Presiden Direktur Avrist Insurance dan pengurus AAJI.
Selanjutnya, BPJS Kesehatan memberikan template perjanjian kerjasama layanan antara BPJS Kesehatan dan perusahaan asuransi komersial. Hingga kini ada sekitar 50 perusahaan asuransi swasta yang sudah menandatangani perjanjian kerjasama tersebut.
Namun, apa mau dikata? Dalam perjalanan pembahasan CoB, muncul perbedaan-perbedaan antara kedua belah pihak yang kian meruncing dan mengarah pada deadlock.
Pertama, tentang sistem rujukan berjenjang (managed care). Dalam alur layanan BPJS Ketenagakerjaan, setiap peserta sudah ditentukan rujukan fasilitas kesehatan (faskes) atau provider yang bisa dia tuju.
Sistem itu dinilai sulit bagi peserta asuransi swasta. Maka itu, asuransi swasta mengusulkan agar peserta bisa mengakses layanan di provider non-BPJS Kesehatan. “Kalau ada selisih klaim, asuransi swasta menanggung,” kata Adi.
Industri meminta agar faskes yang sudah bekerjasama dengan asuransi swasta, bisa digolongkan sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FTKP).
Penyebab deadlock kedua adalah tentang dasar hukum pelaksanaan CoB. Sekitar Oktober 2014, BPJS Kesehatan merilis addendum atas perjanjian kerjasama yang sudah ditandatangani dengan asuransi swasta. Klausul baru itu menegaskan lagi sistem rujukan berjenjang BPJS Kesehatan.
Addendum itu juga menyebut, sebuah badan usaha harus mendaftar sendiri kepesertaan karyawan mereka di BPJS Kesehatan karena sifatnya adalah wajib (mandatory). Lagi-lagi, itu mementahkan langkah asuransi komersial yang semula hendak turut serta menjaring kepesertaan BPJS Kesehatan badan usaha.
Permasalahan makin meruncing ketika Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menilai bahwa CoB tidak memiliki dasar dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004. Pelaku industri asuransi swasta mengaku heran mengapa masalah dasar hukum CoB baru mengemuka setelah pembahasan skema koordinasi manfaat berjalan sekian lama. "Kami agak tercengang juga, kok, baru muncul sekarang setelah pembahasan CoB sudah berjalan," ujar Adi.
Lantas, bagaimana kelanjutan nasib pembahasan skema koordinasi manfaat BPJS Kesehatan? Simak tulisan lebih lengkap di Tabloid KONTAN Edisi 21 September-27 September 2015.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News