Reporter: Surtan PH Siahaan | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Instruksi Bank Indonesia (BI) agar korporasi non-bank yang memiliki utang luar negeri (utang valas) melakukan praktik lindung nilai (hedging) ditanggapi beragam. Kebanyakan perusahaan akan mengikuti aturan main yang sudah ditetapkan oleh otoritas perbankan tersebut.
Namun, ada juga perusahaan yang memilih menggunakan kiat tersendiri. Salah satunya adalah PT Astra Otoparts, Tbk (AUTO). Direktur Keuangan PT Astra Otoparts Robby Sani, menilai, praktik hedging lebih menguntungkan bank dibandingkan perusahaan. Alasannya, bank selalu menggunakan prediksi konservatif dibandingkan prediksi optimis.
Dia mencontohkan, perusahaan A yang melakukan hedging dengan membeli dollar Amerika Serikat (AS) untuk kebutuhan dua bulan ke depan. Bank dipastikan akan memberikan harga dollar pada level yang tidak jauh berbeda dengan kurs pada hari H pembayaran yang dibutuhkan perusahaan tersebut.
Belum lagi, perusahaan harus membayar biaya transaksi dan fee. Ketimbang harus melakukan hedging, Robby memilih hedging alami. Maksudnya, jika terjadi kenaikan dollar pada saat pembayaran raw material, perusahaan akan membagi dua imbas kenaikan itu pada perusahaan pembeli produknya dengan cara negosiasi.
Selisih akibat kenaikan kurs bisa ditanggung separuh separuh atau tujuh puluh-tiga puluh, atau tergantung kesepakatan. Apa yang dilakukan AUTO ini, menurut Robby, dijamin tidak riskan. Alasannya, keuangan perusahaan siap untuk itu. "Jadi kalau kurs naik bukan lantas kita tidak bisa beli dollar. Tidak seperti itu, rupiah kita punya kok," kilahnya.
Robby bilang, cara yang diterapkan perusahannya hanya punya kekurangan rugi waktu alias lebih lambat ketimbang sistem hedging. Dia pun yakin di pasar, ketersediaan dollar akan mencukupi kebutuhan korporasi. Menurutnya, utang valas perusahaan juga tergolong sangat sedikit, sehingga praktik hedging seperti yang diwajibkan pemerintah tidak terlalu berdampak pada perubahan sistem transaksi perusahaan.
PT Kimia Farma Tbk (KAEF) juga menyatakan siap hedging jika memang diharuskan demikian. Padahal, pada awal tahun ini, Direktur Utama KAEF, Rusdi Rosman, mengaku tengah mempertimbangkan untung-rugi transaksi lindung nilai. Namun, lantaran SOP dan regulasi hedging sudah tersedia, dia mengatakan siap melakukan praktik tersebut. "Saat itu kita hitung cost dan benefitnya. Tapi kalau sekarang, ya, kita follow the rule," tuturnya.
Rusdi menjeskan jika saat ini perusahaanya sedang tidak memiliki utang berdenominasi dollar. Maklum, sepanjang 2014, KAEF lebih banyak melakukan transaksi dengan menggunakan sistem term of delivery (TD) dibandingkan LC. Artinya, untuk kebutuhan impor raw material, Rusdi lebih memilih melakukan pembayaran di depan.
Alhasil, tingkat ekspor yang tumbuh lumayan pada tahun ini juga membuat persediaan dollar KAEF aman. Rusdi menambahkan, saat ini total ekspor naik 2% dari total penjualan. Sedangkan jika dibandingkan ekspor tahun 2013, persentasenya naik 50%. "Saat ini kita tidak ada utang karena cash lagi bagus," sebutnya.
Sebelumnya, BI melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 16/20/PBI/2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non-Bank mewajibkan hedging bagi korporasi yang memiliki utang valas. Isinya beleid ini, korporasi non-bank yang memiliki utang luar negeri (ULN) valuta asing (valas) per 1 Januari hingga Desember 2015 wajib melakukan hedging valas terhadap rupiah dengan rasio 20% dan naik menjadi 25% pada 1 Januari 2016.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News