Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kebijakan pengelolaan cadangan devisa oleh Bank Indonesia (BI) sejauh ini dinilai masih terlalu tradisional. Nilai cadangan devisa yang terus membengkak sampai kini terbanyak masih didominasi oleh aksi penyedotan dolar di pasar melalui berbagai macam instrumen operasi pasar terbuka. Dus, ini melahirkan komponen biaya.
Seperti kita tahu, melimpahnya dolar di pasar akibat terus berlanjutnya capital inflow sudah mendorong BI mengintervensi penguatan rupiah dengan terus memborong dolar di pasar. Tak heran nilai cadev terus naik sampai posisi US$ 91,7 miliar akhir Oktober lalu.
Pengamat moneter Yanuar Rizky berpendapat, semestinya BI bisa lebih menajamkan perannya dalam situasi pasar keuangan seperti saat ini. Menurutnya, banyak negara yang melakukan penguatan terhadap bank sentralnya. Semua mencari cara untuk mendisiplinkan pasar, seperti China yang menaikkan suku bunga, lalu bank sentralnya main di pasar keuangan.
"Di era saat ini, bank sentral harus berani menjadi bandar, sedangkan BI menaikkan Giro Wajib Minimum saja terkesan ragu-ragu dan tanggung, jadinya biaya moneter yang membesar," ujar Yanuar dalam obrolan dengan KONTAN, pekan lalu.
Dalam kacamata Yanuar, tata dunia saat ini sudah mulai bergeser di mana peran bank sentral tidak terbatas sebagai pengendali stabilitas moneter semata. Bank sentral juga berani sedikit agresif mencari keuntungan dari situasi moneter global saat ini, di mana aliran modal asing begitu deras tersulut stimulus-stimulus di negara-negara maju. "Cadev kita saat ini korelasinya sangat erat dengan operasi pasar terbuka, jadi lebih banyak ke biaya," kata Yanuar.
Menurut Yanuar, nilai cadev RI semakin dipengaruhi oleh nilai cadev The Fed, bank sentral Amerika Serikat. "Saat nilai cadev kita naik, di sana turun, saat mereka turun di sini naik. Duitnya yang bolak balik dari sana kesini dan sebaliknya, ini kita kayak diperalat permainan bank-bank sentral lain, arus uang kita terlalu terdikte oleh mereka," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News