Reporter: Adisti Dini Indreswari, Nina Dwiantika |
JAKARTA. Kisruh Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) belum mereda. Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) belum juga menepati janjinya untuk mengeluarkan Perjanjian Kerjasama Operasional (PKO) yang baru, lantaran belum ada kesepakatan mengenai suku bunga dengan pihak perbankan.
Meski belum ada titik temu, Menpera Djan Faridz melunak dan mulai menaikkan suku bunga ke 7%, dengan penempatan dana pemerintah banding bank 50% banding 50%. Djan menjanjikan PKO baru sudah ada akhir bulan ini. "Empat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk Bank Tabungan Negara (BTN) sudah sepakat," ujarnya di Jakarta, Jumat (10/2).
Suku bunga 7% sebenarnya lebih tinggi dari target semula Kemenpera, yang berencana memangkas suku bunga FLPP menjadi 5%-6% dari semula 8,15%-8,5%. Sayangnya, Djan enggan menjelaskan alasannya, termasuk merinci komponen bunga. Dia hanya menegaskan bahwa tidak ada masalah dengan pihak bank.
Lebih lanjut, Djan juga menyangkal ada kerugian pengembang akibat keran FLPP tidak mengucur selama 1,5 bulan ini. "Pengembang itu kan pedagang, tidak mungkin rugi, pasti mereka punya strategi supaya tidak rugi," sanggahnya.
Kalaupun ada kerugian yang harus ditanggung, lanjut Djan, tidak mungkin menembus triliunan seperti yang dikeluhkan asosiasi. Djan menghitung, rumah yang terjual dalam sebulan paling banyak 1.000 unit dengan harga rata-rata Rp 50 juta. Berarti potensi kerugian hanya Rp 500 miliar. "Itupun bukan rugi, tapi tertunda," ujarnya lagi.
Tak ada revisi REI
Menanggapi Djan, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real-estate Indonesia (REI) Setyo Maharso bilang, "Kami menganggap ini sebagai hadiah yang tertunda." Memang, penjualan bukan dibatalkan, melainkan hanya ditunda.
Namun menurut Setyo, dampaknya juga sampai ke masyarakat. Pasalnya, masyarakat yang sudah bayar uang muka belum bisa merealisasikan akad. Padahal mereka sudah butuh tempat tinggal.
Setyo sendiri masih optimistis PKO yang baru bisa keluar akhir bulan ini. Makanya, REI tidak merevisi targetnya tahun ini, yaitu membangun 232.000 unit rumah sejahtera tapak, meningkat dua kali lipat dibanding tahun lalu sebesar 120.000 unit. Sedangkan rumah menengah-atas yang dibangun ditargetkan separuhnya.
Namun, Setyo memberi batas waktu, jika PKO FLPP yang baru tidak kunjung keluar sampai Maret, REI pasrah tidak membangun lagi rumah bersubsidi. "Kami akan membangun rumah di harga Rp 100 jutaan, tapi kami usahakan bagaimana caranya supaya masyarakat bisa beli," paparnya. Salah satu upayanya adalah melobi bank-bank besar untuk menekan uang muka dan memperpanjang tenor.
Sebenarnya selama ini proyek rumah subsidi mendominasi proyek REI sebesar 60%. Setyo tidak bersedia membocorkan selisih margin rumah subsisdi dan nonsubsidi. Tapi yang jelas, menurut Setyo, meskipun marginnya lebih kecil, skala rumah subsidi lebih besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News