Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 telah memukul kinerja semester I 2020 perbankan tanah air. Semua bank besar mengalami penurunan perolehan laba bersih akibat melorotnya margin bunga bersih (Net interet margin/NIM).
NIM semakin tergerus di tengah fokus perbankan menyelamatkan debiturnya agar bisa bertahan menghadapi pandemi. Program restrukturisasi kredit yang dilakukan bank untuk membantu debitur tersebut berimbas pada tidak diterimanya pendapatan bunga tahun ini.
Baca Juga: Ulang tahun ke-31, Bank Sinarmas gelar program berbagi
Empat bank pelat merah kompak membukukan penurunan net profit. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mencatat perlambatan terdalam yakni 41%, disusul BTN dengan penurunan 40%, lalu BRI melorot 36,9%, dan Bank Mandiri koreksi 23,9%.
Dari swasta, bank terbesar di tanah air PT Bank Central Asia Tbk (BCA) harus rela labanya turun 4,8%. Bank CIMB Niaga turun 11,7%, Bank Panin turun 18,8%, dan Bank Danamon ambles 53,4%.
Meski ada relaksasi restrukturisasi kredit dari regulator, namun perbankan masih akan terus mewaspadai resiko kredit ke depan di tengah bayang-bayang ketidakpastian ekonomi. Oleh karena itu, sebagian bank memproyeksi perolehan laba di paruh kedua ini tidak masih akan melambat dari semester pertama.
BRI misalnya menargetkan laba sampai akhir tahun tidak akan bisa dua kali lipat dari capaian di paruh pertama. Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan BRI mengatakan, secara logika jika laba perseroan semester I mencapai Rp 10,2 triliun maka sampai ujung tahun harusnya bisa mencapai dua kali lipat.
Baca Juga: BNI Multifinance sebut DP 0% untuk pembiayaan kendaraan listrik menarik untuk digarap
Namun, BRI tidak akan membukukan seluruh pendapatan yang diterima di paruh kedua menjadi laba untuk mengantisipasi ketidakpastian yang ada. "Kami akan mengalokasikan sebagian pendapatan itu untuk jadi pencadangan sebagai bantalan resiko di tengah ketidakpastian ekonomi," ungkap Haru, Rabu (19/8).
Meskipun restrukturisasi kredit terhadap debitur terdampak Covid-19 direlaksasi sehingga tercatat langsung dalam kategori lancar, namun rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) BRI secara konsolidasi per Juni 2020 tercatat naik jadi 3,13% dari 2,52% pada periode yang sama tahun lalu.
Penyumbang utama NPL tersebut dari segmen korporasi non BUMN dan sektornya utamanya dari manufaktur dimana salah satunya sudah tercatat sebagai NPL sejak September 2019. Sunarso, Direktur Utama BRI mengatakan, akan dilakukan pencadangan cukup besar untuk mengantispasi resiko ke depan. Pada paruh pertama, bank coverage ratio bank ini mencapai 200,3%, naik dari 194,6% pada semester I 2019.
BRI melihat kebutuhan kredit masih ada terutama dari segmen UMKM yang menjadi core bisnis perseroan. Sunarso bilang, penyaluran kredit akan terus dilakukan untuk membantu pelaku usaha bangkit kembali namun tetap selektif dan penuh hati-hati.
BNI juga memperkirakan perlambatan laba masih akan berlanjut sampai akhir tahun karena dampak besar dari Covid-19. Bank ini sudah mengajukan revisi Rencana Bisnis Bank (RBB) ke regulator.
Direktur Keuangan BNI, Sigit Prastowo mengatakan, Covid-19 mempengaruhi pertumbuhan kredit, kemampuan perseroan melakukan pemulihan atas kredit hapus buku, dan rasio kredit bermasalah. Pada akhirnya, itu juga bakal mempengaruhi perolehan laba perseroan.
Baca Juga: Mandiri Tunas Finance tertarik biayai kendaraan listrik, dua APM lakukan penjajakan
Adanya restrukturisasi dan peningkatan NPL membuat BNI harus membentuk CKPN untuk mengantisipasi resiko. "Sehingga ke depan, kita memproyeksikan profit akan tergerus cukup signifikan karena dua hal itu," ujar Sigit.
Direktur Keuangan Bank Mandiri Silvano Rumatir menjelaskan, tahun ini pihaknya berkomitmen untuk menjaga kinerja positif tahun ini, baik dari sisi kredit maupun dari perolehan laba. "Tentunya dengan mempertimbangkan kondisi recovery di semester II tahun ini,"ujarnya.
Tahun ini, Bank Mandiri akan fokus mendorong kredit pada Program Ekonomi Nasional (PEN) dan juga sektor yang berprospek baik. Tentunya, sambil fokus pada efisiensi biaya lewat akselerasi teknologi digital. Namun, bank ini hanya bereskpektasi kredit tumbuh satu digit tahun ini.
Bank Mandiri akan mendorong kredit ke usaha produktif sampai akhir tahun seperti farmasi, telekomunikasi dan perdagangan. Seiring dengan itu, bank ini juga akan terus meningkatkan biaya pencadangan sejalan dengan naiknya risiko kredit. Tercatat biaya CKPN Bank Mandiri naik hingga Rp 10,29 triliun atau sebesar 65,65% secara tahunan.
Baca Juga: Mengenal seluk-beluk dana pensiun, dari pengertian hingga fungsinya
Suria Dharma, Kepala Riset Samuel Sekuritas memperkirakan laba bersih bank BUMN sampai ujung tahun akan tetap turun. Perkiraannya net profit semester II belum tentu lebih baik meskipun restrukturisasi sudah melandai dan permintaan kredit mulai naik. "Semester I itu, masih ditopang dari kuartal I yang belum ada efek restrukturisasi," ujarnya.
Prediksinya, laba Bank Mandiri kemungkinan akan lebih besar tahun ini dibanding BRI yang selama ini jadi jawara. Pasalnya, restrukturisasi kredit BRI lebih besar sehingga biaya provisinya kemungkinan akan lebih besar. Apalagi, pendapatan bunga bersih bank ini di semester I sudah tumbuh negatif.
Dari sisi saham, Suria melihat saham BBNI dan BMRI lebih menarik dari sisi valuasinya. Namun, BBRI dinilai tetap disukai investor karena punya bobot market capital yang sangat besar. Sampai akhir tahun, ia mematok target harga saham BBNI Rp 6.000, BMRI Rp 7.700, BBRI Rp 3.500 dan BBTN Rp1.500.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News