kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Lagi, HSBC Kalah di Sengketa Derivatif


Kamis, 26 November 2009 / 08:29 WIB
Lagi, HSBC Kalah di Sengketa Derivatif


Sumber: KONTAN | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Kisah kekalahan bank asing dalam sengketa produk derivatif di pengadilan kian panjang. Setelah Citibank N.A dan Standard Chartered Bank, untuk ketiga kalinya, The Hong Kong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) menelan kekalahan dalam sengketa produk derivatif.

Kemarin (25/11), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan HSBC yang meminta pembayaran sisa kontrak derivatif senilai
US$ 5,2 juta kepada PT Tobu Indonesia Steel. Menurut Pengacara Tobu Randy Kailimang, hakim menilai, HSBC tak mampu membuktikan tagihan itu. Selain itu, hakim menilai, bank asal Inggris ini melanggar UU Perlindungan Konsumen dan Peraturan Bank Indonesia (BI). "Pertimbangan hakim sesuai dengan dasar yang kami ajukan," kata Randy, Rabu (25/11).

Sebaliknya, kuasa hukum HSBC Mustika Kuwera menyesalkan putusan hakim. Ia menilai, keputusan ini mengisyaratkan tidak ada kepastian hukum di Indonesia. "Semua perjanjian sudah ditandatangani secara sah. Kami akan banding," tegasnya.

Kekalahan HSBC dalam sengketa derivatif ini bukanlah yang pertama kali. Juli lalu, HSBC kalah melawan Toba Surimi dan September lalu kandas melawan PT Fresh On Time Seafood. HSBC juga gagal memailitkan Ciptagria, debitur produk derivatifnya.

Di mata praktisi hukum perbankan Frans Hendra Winarta, tumbangnya sejumlah bank dalam sengketa produk derivatif menjadi bukti pemahaman produk derivatif di Indonesia dengan aturan internasional belum sesuai. "Pikiran hakim juga belum sejalan dengan hukum internasional mengenai derivatif," kata dia.

Buktinya, hakim terlalu menyederhanakan masalah derivatif. Padahal, kasus ini perlu pemahaman teknis yang memadai. Contohnya, hakim selalu meminta bukti hard copy. Padahal, berbagai transaksi lebih banyak tanpa kertas (paperless). Frans bilang, jika ini berlarut, bukan mustahil tidak ada bank yang berani menerbitkan produk derivatif. "Pemerintah dan BI harus mengadopsi aturan internasional," katanya.

Saat ini, Bank Danamon dan PT Eka Kertas Nusantara juga sedang berperkara serupa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×