kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Lepas dari aturan, belum tentu berjodoh


Rabu, 25 Juli 2012 / 13:22 WIB
Lepas dari aturan, belum tentu berjodoh
ILUSTRASI. Promo BreadTalk periode 28 Juni ? 4 Juli 2021 bertajuk Pay Day Duo Roll Cakes. Dok: Instagram BreadTalk


Sumber: KONTAN MINGGUAN 43 XVI 2012, Laporan Utama3 | Editor: Imanuel Alexander

Pasca keluarnya aturan BI mengenai kepemilikan saham bank, rencana akuisisi atas sejumlah bank lokal kembali bergulir. Meski sudah mencapai kata sepakat dengan pemilik lama, para pemodal asing tetap harus sabar mewujudkan keinginannya.

Waktu penantian hampir empat bulan ternyata tidak menyurutkan keinginan DBS Group Holdings Ltd (DBS) untuk menjadi juragan baru PT Bank Danamon Tbk. Setelah proses izin akuisisi 67,37% saham Danamon sempat dibekukan oleh Bank Indonesia, kini bank asal Singapura tersebut dapat menuntaskan aksi korporasi tersebut. Titik terang itu diperoleh pasca diri-lisnya peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang aturan kepemilikan saham bank, Rabu pekan lalu (18/7).

Henry Ho, Presiden Direktur Bank Danamon, mengaku belum mendapat informasi terbaru mengenai kelanjutan rencana pembelian saham Danamon oleh DBS Group dari tangan Fullerton Financial Holding, entitas milik anak usaha Temasek. Informasi lebih terang disampaikan oleh Marciano Herman, Direktur Utama Danareksa Sekuritas, perusahaan yang ditunjuk oleh DBS untuk membantu hajatan tersebut.

Menurut dia, proses akuisisi Danamon akan tetap sesuai rencana awal. “Saya dengar mereka (DBS) sudah memasukkan dokumen ke BI setelah aturan (PBI) keluar,” katanya. Sementara, dokumen akuisisi ke regulator pasar modal di Indonesia, yaitu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), sudah disampaikan sejak April lalu.

Kini, setelah aturan kepemilikan saham terbit, menurut Marciano, DBS tinggal menunggu restu BI untuk melanjutkan menuntaskan akuisisi tersebut. “Kemungkinan besar, DBS bakal mengantongi restu itu,” tandasnya. Sebab, DBS sudah sejak awal sangat ingin merealisasikan rencana tersebut sebagai bagian dari konsolidasi antara PT Bank DBS Indonesia dengan Bank Danamon.

BI pun kini sudah membuka pintu bagi DBS untuk melanjutkan hajatannya. “Tetap ada kemungkinan, kami akan pelajari dulu permohonannya,” kata Muliaman Hadad, Deputi Gubernur BI, yang sejak akhir pekan lalu berganti jabatan menjadi Ketuda Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Butuh waktu lama

Meski begitu, Marciano menilai, sejatinya, proses akuisisi Danamon masih membutuhkan waktu yang panjang. Jika DBS telah mengantongi izin dari BI, mereka masih harus melalui uji kelayakan dan kepatutan. Lalu, DBS kembali memasukkan dokumen transaksi ke Bapepam-LK dan menggelar penawaran tender (tender offer) pembelian sisa saham publik Danamon.

Terakhir, dalam rangka konsolidasi anak usahanya, DBS juga harus menuntaskan proses merger antara Bank Danamon dengan DBS Indonesia. Meski masih harus melalui jalan panjang dan mungkin memakan waktu berbulan-bulan, setidaknya sudah ada kepastian kehadiran juragan baru di Bank Danamon.

Selain Danamon, setidaknya ada empat bank nasional yang nasib kelanjutan proses pergantian juragannya masih diliputi tanda tanya pasca-terbitnya aturan PBI tersebut.

Pertama, PT Bank Ina Perdana. Sejak pertengahan tahun 2010, bank yang berdiri tahun 1990 ini sudah dipinang oleh investor asal Malaysia, Affin Holdings Bhd. Pinangan itu disambut oleh pemilik lama dan Affin sudah menyampaikan dokumen akuisisi kepada BI. Mereka juga melampirkan rencana bisnis Bank Ina ke depan pasca berganti kepemilikan.

Namun, niat itu harus mereka pendam dahulu lantaran BI tengah menyusun aturan baru mengenai kepemilikan saham bank. Alhasil, sejak awal tahun 2011, regulator membekukan semua proses perizinan akuisisi dan merger bank, yang ternyata banyak didominasi oleh para pemodal asing.

Selain DBS dan Affin, China Construction Bank asal China tengah dalam proses mengakuisisi Bank Maspion. Sementara itu, RHB Capital bersiap mencaplok Bank Mestika Dharma. Yang teranyar adalah aksi Woori Bank yang berniat menjadi juragan baru Bank Saudara.

Langkah BI membekukan proses akuisisi itu memunculkan spekulasi bahwa regulator ini akan membuat aturan baru yang membatasi kepemilikan saham bank di Indonesia oleh pemodal asing. Ternyata, dalam beleid baru tersebut, BI sama sekali tidak memberikan batasan. Logikanya, tentu para pemodal asing itu akan melanjutkan dan menuntaskan proses akuisisi yang sempat tertahan.

Namun, Direktur Utama Bank Ina Perdana, Edy Kuntardjo, mengaku belum mendapat kabar baru dari Affin. “Sejak PBI terbaru keluar, belum ada komunikasi lagi membahas masalah ini,” katanya. Dus, bank yang per Mei 2012 mencatatkan laba bersih Rp 8,76 milliar itu masih menunggu kepastian hadirnya juragan baru.

Begitu pula dengan Bank Saudara. Menurut Yanto M. Purbo, Direktur Bank Saudara, saat ini, pihaknya masih mengkaji aturan baru tersebut. “Kami masih exercise peraturan BI tersebut, tapi overall dari kami oke saja,” katanya. Namun, belum ada kejelasan mengenai kelanjutan rencana pembelian 33% saham bank milik pengusaha Arifin Panigoro tersebut oleh Woori Bank.

Aneka persyaratan

Memang, kemungkinan, respons para calon investor baru akan lambat karena PBI anyar itu memiliki persyaratan yang cukup ketat. Terutama, bagi investor yang ingin menjadi pemegang saham mayoritas alias sebagai pengendali bank. Investor yang merupakan entitas perbankan hanya boleh memiliki maksimal 40% saham bank.

Jika ingin lebih, mereka harus melakukan secara bertahap.Syaratnya, bank yang diakuisisi harus memperoleh penilaian tingkat kesehatan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dengan skor satu atau dua selama tiga periode berturut-turut dalam kurun waktu lima tahun.

Selain itu, bank yang jadi calon juragan baru harus mendapat persetujuan dari otoritas sejenis BI di negara asal. “Kalau pengawasnya mempertimbangkan belum bisa, ya tidak bisa,” kata Mulya E. Siregar, Direktur Eksekutif Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI.

Sementara, calon investor yang bukan merupakan institusi bank, hanya boleh memiliki 30% saham bank. Jika ingin memiliki lebih dari jumlah itu, persyaratarannya sama dengan yang diberlakukan kepada investor berstatus bank.

Selain itu, jika bank yang diakuisi belum menjadi perusahaan publik, si juragan baru wajib menggelar go public dalam waktu tertentu. Pemilik baru juga harus memenuhi kewajiban membeli surat utang yang diterbitkan bank tersebut untuk kemudian dikonversi menjadi kepemilikan saham.

Nah, rata-rata, para investor yang bersiap masuk itu ingin menjadi pemegang saham mayoritas. Seperti Affin Holdings ingin mengakuisisi 51% saham Bank Ina Perdana. Bahkan, China Construction Bank berniat menguasai 99% saham Bank Maspion dan Woori Bank ingin mengontrol 80% saham Bank Mestika Dharma.

Seorang analis perbankan menilai aturan kepemilikan saham bank yang dikeluarkan oleh BI tidak sepenuhnya menjawab harapan publik. Terutama terkait pembatasan bank asing. Sebab, bank asing masih berpeluang menjadi pemegang saham mayoritas di bank lokal. Apalagi bank asing yang berperingkat di atas investment grade (BBB), seperti DBS yang mengantongi rating AA.

Beberapa bankir bank lokal juga meminta BI jangan sembarangan memberi izin kepemilikan saham mayoritas kepada investor asing. Sebab, bank asal Indonesia sendiri kesulitan berekspansi ke luar negeri.
Mari, kita tunggu kepekaan bank sentral soal hal ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×