Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan tiga Peraturan OJK (POJK) terkait Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Ketiga POJK ini mengatur perizinan, kelembagaan, penyelenggaraan, hingga pembinaan dan pengawasan LKM. Pengaturan ini akan efektif 1 Januari 2015.
Berdasarkan POJK, LKM boleh berbentuk badan hukum koperasi dan perseroan terbatas. Untuk LKM dalam bentuk perseroan terbatas, sebesar 60% saham harus dimiliki pemerintah daerah atau badan usaha milik desa serta bentuk koperasi yang dapat diinisiasi oleh perorangan. "Selain itu, bisa pilih kegiatan usahanya mau konvensional atau syariah," ujar Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB), Rabu (19/11).
Umumnya, LKM memiliki tiga kegiatan usaha, yakni pinjaman atau pembiayaan skala mikro, pengelolaan simpanan, serta pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha kepada anggota masyarakat. "Nanti para LKM ini juga bisa jadi agen branchless, jual asuransi mikro, reksadana. Apa saja yang penting masih berbau lembaga keuangan," tutur Firdaus.
Menurut Firdaus, LKM memiliki potensi yang besar. LKM bisa beroperasi mulai dari tingkat desa hingga kabupaten yang sulit dijangkau institusi keuangan besar. Setelah memperoleh izin, LKM tidak serta merta dilepas begitu saja oleh OJK. LKM wajib menyerahkan laporan keuangan kuartalan.
Untuk masalah permodalan, LKM tingkat desa atau kelurahan bisa beroperasi dengan modal disetor minimal Rp 50 juta. Sedangkan LKM tingkat kecamatan dan kabupaten/kota masing-masing harus punya modal disetor minimal Rp 100 juta dan Rp 500 juta (lihat tabel). "Jika mau cakupan lebih luas lagi, mau lintas kabupaten atau kota, silakan LKM menjadi BPR," jelas Firdaus.
Dengan meluncurkan tiga POJK ini, artinya OJK akan mengurus lebih dari 600.000 LKM yang tersebar di seluruh Indonesia. Nantinya, pihak LKM akan dikenai pungutan saat melakukan permohonan izin kepada OJK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News