kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

LPS: 54 BPR terindikasi melakukan pidana


Kamis, 12 Maret 2015 / 14:04 WIB
LPS: 54 BPR terindikasi melakukan pidana
ILUSTRASI. 4 Cara Menghentikan Pendarahan Saat Mencukur.


Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Hingga tahun 2014, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menangani 60 bank yang telah dicabut izinnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bank tersebut berbentuk bank perkreditan rakyat (BPR). Dari jumlah BPR yang dilikuidasi itu, sebanyak 54 BPR diantaranya terindikasi terlibat tindak pidana perbankan.

Modus tindak pidana perbankan yang ditelisik LPS dari proses penanganan bank gagal itu cukup beragam. Misal, pemberian kredit fiktif dan penarikan simpanan tanpa sepengetahuan nasabah.

Selain itu, ada juga modus penyimpangan yang dilakukan bank perkreditan dengan tidak mencatatkan tabungan dan deposito nasabah. Bahkan, "Sampai setoran atau angsuran kredit yang tidak disetorkan ke bank," kata Arie Budiman, Direktur Group Litigasi LPS, Rabu (11/3).

Dari 54 BPR yang terindikasi melakukan tindak kejahatan perbankan, 8 BPR diantaranya sudah diproses secara hukum, 19 BPR masih dalam proses penyelidikan otoritas perbankan. Selebihnya, LPS telah memberikan kuasa kepada Bank Indonesia (BI) dan OJK untuk melaporkan dugaan tindak pidana perbankan yang dilakukan 27 BPR. Nah dari 19 bank yang masih dalam proses penyelidikan bank sentral tersebut, selain BPR, juga terdapat beberapa BPR Syariah (BPRS).

Menanggapi maraknya kejahatan di sektor perbankan, manajemen PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mengaku telah melakukan pengawasan ketat dalam mencegah praktik penyimpangan yang terjadi di dalam lingkungan bank (fraud). BNI menerapkan sales governance sebagai sistem anti fraud.

Secara garis besar, sales governance telah diterapkan BNI pada semua lini pelayanan konsumen. Upaya yang dilakukan antara lain mengukur dan mengantisipasi risiko kredit (credit risk) dan risiko operasional (operational risk). "Termasuk melakukan evaluasi terhadap validitas dan keabsahan incoming consumer dan retail lending and credit card aplication," tutur Sutanto, Direktur Risiko Bank BNI.

Sutanto menegaskan, fraud merupakan masalah serius dalam industri perbankan. Sebab, tindakan ini jelas dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan nasabah. Ujung-ujungnya, tidak hanya nasabah yang dirugikan, bank yang bersangkutan juga akan merugi secara finansial dan berdampak buruk bagi kinerja perusahaan.

Selain melakukan beberapa langkah untuk membangun sistem anti fraud, lanjut Sutanto, BNI juga telah menyepakati komitmen anti fraud yang ditandatangani oleh seluruh dewan komisaris dan direksi. Tidak cukup sampai disini, "Kami juga membentuk komite anti fraud," imbuh Sutanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×