Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Efektivitas kebijakan Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga ke level 5,75% terhadap pertumbuhan ekonomi dipertanyakan. Pasalnya, penurunan itu dilakukan di saat ketidakpastian global semakin tinggi dan ada risiko neraca berjalan melebar.
Sejumlah analis mengakui bahwa kebijakan BI itu memang bertujuan mendorong pertumbuhan di tengah perlambatan konsumsi rumah tangga. Namun, mereka mengingatkan bahwa kebijakan moneter memiliki time lag. Transmisinya terhadap bunga kredit butuh waktu sehingga dampaknya terhadap sektor rill juga belum bisa cepat.
Sehingga efektivitas kebijakan BI terhadap tingkat konsumsi dan investasi swasta akan tergantung besaran penurunna bunga kredit dan peningkatan likuiditas rumah tangga.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad memperkirakan, penurunan BI rate tak akan serta merta diikuti penurunan bunga kredit. Transmisi pemangkasan suku bunga terhadap sektor rill butuh waktu.
Menurutnya, efek dari kebijakan itu baru akan terasa dalam jangka waktu tiga hingga enam bulan ke depan. “Mengingat penurunannya hanya 25 basis poin, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi kemungkinan besar masih terbatas,” kata dia, belum lama ini.
Baca Juga: Suku Bunga The Fed Berpeluang Dipangkas 2 Kali Tahun ini, Begini Arah Rupiah ke Depan
Sementara, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede melihat bahwa BI dihadapkan dengan tantangan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas rupiah, dan inflasi.
Ia melihat penurunan BI rate bertujuan mengelola depresiasi rupiah agar tetap terkendali sehingga aset lokal tetap menarik bagi investor asing. “Namun, ketidakpastian global dan risiko neraca berjalan yang melebar juga perlu dikelola dengan baik agar investor swasta tetap percaya diri," ujarnya
Di sisi lain, tekanan daya beli masyarakat juga masih berat. Ekonom BCA, David Sumual mengatakan, saat ini tengah terjadi peralihan pekerja formal ke sektor informal, yang sebagian besar disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ini diperburuk dengan stagnasi sektor-sektor padat karya dan penciptaan lapangan kerja kian sulit.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa memfokuskan kebijakannya untuk mendorong investasi ke sektor padat karya agar peluang kerja dapat meningkat, sehingga masyarakat memiliki penghasilan yang lebih stabil.
Baca Juga: Pendapatan Bunga Melandai, Laba Bank Tertekan
Adapun kebijakan kenaikan PPN 12% menurutnya dampaknya relatif terbatas terhadapa masyarakat karena hanya ditujukan untuk bawarng mewah. Ia menilai opsen pajak juga tidak terlalu signifikan dalam mengubah nilai akhir yang harus dibayarkan oleh masyarakat.
Berbeda dari pemerintahan sebelumnya yang fokus pada investasi, David mengatakan, kebijakan pemerintah saat ini memang lebih condong mengerek daya beli masyarakat, seperti dengan bantuan sosial dan insentif konsumsi.
Namun, David menekankan bahwa investasi asing juga berpengaruh penting dalam mendorong ekonomi Indonesia. Ia melihat investasi asing sulit masuk ke Tanah Air selama ini bukan hanya karena faktor global tapi juga karena kebijakan domestik yang kära berubah dan birokrasi masih rumit.
Faktor tersebut, kata dia, membuat banyak investor memilih untuk beralih ke negara lain, seperti Vietnam, yang dianggap lebih stabil dan efisien dalam regulasi investasi.
Selanjutnya: Harga Emas Terkoreksi pada Senin (3/2) Pagi, Pasca Trump Kenakan Tarif
Menarik Dibaca: Selesaikan Tender, Ini Pengendali Baru Jaringan Restoran Gokana dan Monsieur Spoon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News