kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoroti Aturan RPOJK Transparansi Bunga Kredit Terhadap Pengendalian NIM Perbankan


Selasa, 19 Maret 2024 / 04:04 WIB
Menyoroti Aturan RPOJK Transparansi Bunga Kredit Terhadap Pengendalian NIM Perbankan
ILUSTRASI. Pemerintah dan regulator untuk melakukan upaya pengendalian NIM demi menciptakan iklim industri yang kompetitif.KONTAN/Muradi/2022/09/15


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Tingginya margin bunga bersih (net interest margin/NIM) perbankan tanah air telah mendorong pemerintah dan regulator untuk melakukan upaya pengendalian NIM demi menciptakan iklim industri yang kompetitif terkait bunga kredit yang diberikan bank.

Asal tahu saja, OJK mencatat rasio NIM perbankan di Indonesia mencapai 4,92% pada tahun 2022 lalu, naik 12 basis poin (bps) secara tahunan dari tahun sebelumnya yang hanya 4,8%. Sejumlah bank umum konvensional juga memiliki rasio NIM di atas 5%, bahkan ada yang hampir menyentuh angka 7% pada tahun 2023 lalu. 

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) menjadi bank yang paling tinggi rasio NIM nya tahun lalu, yakni mencapai 6,84%. Bahkan naik dari rasio NIM sebelumnya 6,80% pada tahun 2022.

Baca Juga: POJK Transparansi Suku Bunga Kredit Akan Segera Terbit

Menyusul BRI, ada PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang memiliki rasio NIM 5,50% pada tahun lalu. Angka ini juga naik dari 5,30% pada tahun 2022. Di posisi ketiga ada PT Bank Mega Tbk  rasio NIM di angka 5,21%, menurun dari 5,42% pada tahun 2022.

Posisi rasio NIM Bank Mega tersebut bahkan telah melampaui PT Bank Mandiri Tbk yang mencatat rasio NIM 5,16% pada tahun 2023, menurun dari sebelumnya 5,47% pada tahun 2022.

Screenshot 2024-03-18 204949.png

Selain 4 bank umum konvensional tersebut, Bank Pembangunan Daerah (BPD) juga dikenal memiliki rasio NIM yang tinggi. Misalnya saja PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk (BJB) yang mencatat rasio NIM sebesar 4,89% pada 2023. Angka tersebut menurun dari sebelumnya 5,86% pada tahun 2022.

Nah, demi mengendalikan NIM perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) yang mengatur tentang Suku Bunga Dasar Kredit (SDBK). Terkait hal in, Direktur Utama BJB Yuddy Renaldi mengatakan OJK tentu sudah melakukan kajian aturan tersebut dengan baik, untuk itu BJB tetap akan menunggu POJK itu diterbitkan.

Lebih lanjut Yuddy menilai rasio NIM tentu menjadi indikator atraktif di perbankan Indonesia yang tentu saja menjadi salah satu daya tarik dari industri ini bagi investor.

Baca Juga: Ini Jadwal Pembayaran Dividen Bank Mandiri (BMRI) Total Rp 33,06 Triliun

Di sisi lain, dia menyebut NIM yang cukup atraktif ini juga menunjukkan kinerja perbankan yg sehat karena tetap dapat mengelola rasio kualitas aset yang baik, juga rasio permodalan yang sehat. Tak ayal BJB tetap menargetkan rasio NIM tinggi.

"Kami akan menjaga rasio NIM minimal 4,9% tahun ini," kata Yuddy kepada Kontan.

Sementara itu BRI sebagai bank pencetak NIM tertinggi di industri, menyebut BRI secara berkala tetap melakukan review suku bunga.

"Kami juga menjaga level suku bunga yang kompetitif dengan tetap memperhatikan profitabilitas, dengan secara berkala melakukan review suku bunga," kata Agustya Hendy Bernadi.

Perlu diketahui belum lama ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Transparansi dan Publikasi Suku Bunga Dasar Kredit bagi Bank Umum Konvensional (POJK SBDK) bagi bank Umum Konvensional.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae juga telah memastikan bahwa aturan itu bakal diterbitkan dalam waktu dekat.

"Tidak lama lagi akan kita keluarkan POJK nya, masih perlu proses teknis hukum, termasuk harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham)," kata Dian kepada Kontan, Senin (18/3).

Jika merujuk isi RPOJK SBDK, pembentukan aturan ini menimbang perlunya keterbukaan informasi perhitungan suku bunga mendorong kompetensi perbankan dalam penyaluran kredit dengan suku bunga yang kompetitif. Maklum saja, selama ini bunga kredit bank tidak kompetitif dan bersifat oligopolis. 

Suku Bunga Dasar Kredit untuk selanjutnya disebut SBDK adalah indikasi suku bunga efektif kredit terendah yang mencerminkan Harga Pokok Dasar Kredit (Cost of Fund), Biaya Overhead (Overhead Cost), dan Marjin Keuntungan (margin) yang dikeluarkan oleh bank umum untuk kegiatan pembiayaan. Selanjutnya, bank menggunakan SBDK sebagai acuan dalam penetapan Suku Bunga Kredit (SBK) yang akan dikenakan kepada nasabah.

Baca Juga: Setelah Laba Industri Perbankan Indonesia Mencetak Rekor

Aturan ini nantinya sekaligus menjadi penyempurna dari aturan sebelumnya terkait ketentuan suku bunga dasar kredit yang telah diatur dalam POJK Nomor 37/POJK.03/2019 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. Nantinya Laporan Publikasi SBDK akan disampaikan oleh bank kepada masyarakat dan OJK melalui pengumuman. Perhitungan SBDK hanya berlaku untuk kredit yang diberikan dalam mata uang Rupiah.  

Laporan Publikasi SBDK bank nantinya terdiri dari, Harga Pokok Dasar Kredit (HPDK/Cost of Fund), Biaya Overhead (Overhead Cost), Marjin Keuntungan (Margin) dan Rata-Rata SBK Realisasi. Selain itu laporan juga disajikan per jenis kredit, yaitu Kredit Korporasi, Kredit Ritel, Kredit Menengah, Kredit Kecil, Kredit Mikro, kredit Kepemilikan Rumah (KPR)/Kredit Kepemilikan Apartemen (KPA), dan Kredit non-KPR/Non-KPA. 

Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) kepada nasabah harus memuat informasi antara lain Surat bunga kredit termasuk konversi suku bunga flat setara efektif dan sebaliknya. Khusus untuk KPR dan KPA, perubahan suku bunga yang ditetapkan dalam SPPK diinformasikan ke nasabah sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sebelum terjadinya perubahan.

Dalam penyusunan SBDK, bank harus memperhatikan suku bunga acuan dari otoritas yang berwenang dan perkembangan kondisi ekonomi. Jika bank umum tidak memenuhi ketentuan, maka akan dikenai sanksi administratif, namun jika masih tidak memenuhi, maka bank dapat dikenakan sanksi administratif lanjutan berupa penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor tata kelola dalam penilaian tingkat kesehatan BUK, larangan untuk menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru, pembekuan kegiatan usaha tertentu,  atau larangan sebagai pihak utama lembaga jasa keuangan sesuai dengan POJK mengenai penilaian kembali bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.

Denda lainnya akan dikenakan sebesar Rp 1 juta per hari kerja dan paling banyak sebesar Rp30 juta.

Selanjutnya: Katalog Promo Superindo Weekday Diskon hingga 50% Periode 18-21 Maret 2024

Menarik Dibaca: Katalog Promo Superindo Weekday Diskon hingga 50% Periode 18-21 Maret 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×