kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45908,54   -10,97   -1.19%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Neobank, ancaman baru bagi bank konvensional di era digital


Selasa, 17 November 2020 / 18:51 WIB
Neobank, ancaman baru bagi bank konvensional di era digital
ILUSTRASI. Ilustrasi keuangan digital. KONTAn/Muradi/2017/04/18


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemunculan perusahaan teknologi finansial, uang elektronik hingga marketplace (e-commerce) secara pesat mengubah kebiasaan bertransaksi masyarakat. Perubahan itu kini dipercepat di era pandemi Covid-19, yang membuat masyarakat dari semua kalangan harus terbiasa menggunakan layanan digital.

Hal ini membuat peran perbankan tradisional pun semakin berkurang. Akan tetapi, menurut Ekonom Senior Indef Aviliani walaupun perkembangan fintech dan keuangan digital semakin pesat, fungsi perbankan tetap tidak akan bisa digantikan.

Dalam industri keuangan, perbankan memang sangat dominan, hal ini disebabkan besarnya ekosistem yang dimiliki bank, mulai dari jumlah nasabah, merchant, kantor cabang, infrastruktur pembayaran dan lain-lain. Ditambah, tingkat kepercayaan masyarakat dalam menitipkan dana di perbankan masih sangat tinggi. 

Baca Juga: ASPI: Mulai membaik, nilai transaksi QRIS capai Rp 800 miliar di September

Nah, masa depan perbankan nantinya adalah mengarah ke pembentukan Neobank, yaitu bank dengan model bisnis yang beroperasi sepenuhnya secara digital. Aviliani menjelaskan ada tiga karakteristik Neobank, pertama bank tersebut harus beroperasi penuh secara digital tanpa perlu kantor cabang.

Kedua memanfaatkan aplikasi dan teknologi. Kemudian ketiga memiliki penetrasi pasar yang tinggi dalam hal ini ekosistem bisnis secara digital. "Percuma menjadi Neobank, tapi tidak punya ekosistem," terangnya, Selasa (17/11). 

Beberapa negara bahkan sudah memiliki perusahaan bank jenis baru alias Neobank. Contohnya di Singapura ada Aspire Bank dan Youtrip, di Korea Selatan ada Kakao Bank, di China ada WeBank dan MY Bank. Di kawasan Eropa seperti Inggris sudah lebih dulu dengan Atom dan Monzo kemudian di Amerika Serikat ada neo bank bernama Juno dan Axos. 

Bagaimana di Indonesia? menurut Aviliani ada sekitar 35 sampai 40 bank besar di dalam negeri yang punya ekosistem baik, dan itu merupakan syarat terpenting dalam pengembangan atau transformasi menjadi Neobank. Tapi, tentu saja Neobank juga bisa didirikan oleh perusahaan non bank, yang saat ini diakui Aviliani perkembangannya sangat pesat. Hal itu praktis menjadi tantangan sekaligus ancaman bagi bank tradisional untuk segera injak gas dalam melakukan pengembangan di bidang teknologi dan digital. 

Baca Juga: CT Corp masuk Bank Bengkulu via private placement

Nah, pemicu utama perubahan pola bisnis bank ke arah digital ini menurut Aviliani berkaitan dengan tren yang terjadi ketika krisis. Misalnya saja pada saat pandemi, pendapatan perbankan tentu menurun drastis lantaran kemampuan ekspansi kredit terganggu.

Dalam situasi seperti ini, bank akan sangat mengandalkan pendapatan dari fee based income (FBI). Nah, bank dengan model bisnis digital akan lebih tahan banting. Selain efisien, bank digital akan lebih leluasa mengeruk cuan lewat transaksi nasabah. Tentunya dengan kolaborasi bersama perusahaan tekfin dan e-commerce

"Potensi bank menjadi Neobank itu justru di perbankan yang sudah punya ekosistem," katanya. Ada beberapa contoh, seperti Bank Royal milik Bank BCA yang disebut-sebut akan menjadi bank digital. Ini menurut Aviliani adalah contoh ekspansi bank dalam membentuk Neobank. Kalau merujuk pada artikel Kontan.co.id, beberapa bank kecil pun sudah menyatakan akan mengarahkan pola bisnis ke digital, ada PT Bank Jago Tbk, kemudian ada PT Bank Neo Commerce Tbk dan masih banyak lainnya.

Agus Sugiarto, Kepala OJK Institute bahkan mengatakan Neobank punya prospek lebih besar dari bank tradisional. Lantaran pertumbuhan jumlah pengguna dan transaksi mobile banking di dalam negeri terus mengalami peningkatan. "Bank itu harus dalam pengembangan ke digital. Neobank ini bukan hanya literatur saja, tapi sudah ada di beberapa negara," katanya. 

Dia juga menyebut, Neobank kelak akan menjadi tantangan tersendiri bagi bank tradisional. Bagaimana tidak, ambil contoh di Eropa, Neobank berhasil menggaet 15 juta nasabah dalam waktu singkat. Di Korea, Kakao Bank (2016), dalam 2 hari beroperasi, menggaet 240 ribu nasabah. Dalam 13 hari, mampu meraih 2 juta nasabah dan saat ini jumlah nasabahnya sudah lebih dari 10 juta. 

Baca Juga: Bank Bukopin bakal tambah modal ke Bank Bukopin Syariah

SVP Digital Banking PT Bank Mandiri Tbk Sunarto Xie juga mengakui, kalau saat ini sudah sebanyak 96% transaksi nasabah perseroan sudah dilakukan melalui channel digital. Lalu, 60% dari jumlah transaksi itu sudah dilakukan melalui aplikasi mobile banking perseroan. Padahal, Bank Mandiri dari sisi infrastruktur memiliki 2.000 lebih kantor cabang di Indonesia.

Hal ini menurut Sunarto menjadi penanda bahwa ke depan perbankan dituntut untuk mengubah pola bisnis ke arah digital. Di Bank Mandiri sebagai contoh, seluruh core bisnis internal sudah diubah ke digital. 

Salah satunya dengan mengalihkan infrastruktur dari model konvensional ke digital. Perusahaan juga membangun ekosistem digital melalui mandiri API, di mana terdapat lebih dari 300 mitra bisnis dari segala sektor. Selain itu, Bank Mandiri juga mengembangkan layanan digital nasabah secara end-to-end seperti membuka rekening secara online.

Sambil memperkuat fitur aplikasi Mandiri Online. Namun, untuk bank sebesar Mandiri menurut Sunarto akan sulit untuk bertransformasi menjadi sepenuhnya digital. Kalaupun bisa, hal itu akan memakan waktu yang sangat lama. 

Selanjutnya: Gandeng Akseleran, BCA salurkan kredit Rp 30 miliar ke UMKM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×