Reporter: Ferry Saputra | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mencabut moratorium fintech peer to peer (P2P) lending pada tahun ini. Namun, dicabutnya moratorium berpotensi makin banyaknya pemain yang akan masuk dan bisa jadi meningkatkan risiko kredit macet apabila kebanyakan perusahaan tersebut bergerak untuk pembiayaan konsumtif.
Pasalnya, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi sempat menyampaikan mayoritas perusahaan yang sedang dalam pengawasan khusus didominasi fintech lending untuk pembiayaan konsumtif.
Demi mengantisipasi meningkatnya kredit macet yang disebabkan pembiayaan konsumtif, OJK akan mengkaji dan membatasi pemain baru terkait jenis pembiayaannya.
Baca Juga: AFPI: Merger Bisa Dilakukan Perusahaan Fintech untuk Penuhi Syarat Permodalan
Terkait hal itu, Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah berpendapat pengalihan ke arah produktif itu tidak serta merta untuk mengendalikan kredit macet.
Dia menganggap arahan dari OJK ke produktif itu agar pendanaan fintech lebih punya multiplier effect atau efek berganda.
"Jadi, produktif itu ada multiplier effect atau yang meminjam itu ada tenaga kerja, keuntungan lebih, dan belanja lebih," ungkapnya saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (13/6).
Menurut Kuseryansyah, kredit macet tak serta merta disebabkan pembiayaan konsumtif, lebih tergantung segmennya. Sama juga dengan pembiayaan produktif ada yang bilang kredit macetnya rendah itu tidak juga, tetapi lebih tergantung segmennya.
"Ada segmen kredit macet yang risikonya rendah dan tinggi. Buat suatu perusahaan keuangan P2P yang masuk ke risiko tinggi berarti dia harus cover dengan kekuatan scoring, risk management dan, proyeksinya. Oleh karena itu, dia harus kuat di sisi itu," ujarnya.
Kuseryansyah menjelaskan hal-hal itu juga mesti dikawal oleh pricing, yang mana harganya harus dinaikan karena risikonya tinggi. Dengan demikian, baik pembiayaan produktif dan konsumtif tidak serta merta lurus saja berhubungan dengan kredit macet, tetapi ada segmennya.
"Contoh, pemerintah atau OJK mau buka moratorium targetnya untuk bantu UMKM, yang mana risikonya tinggi karena mereka belum stabil. Artinya, pricing juga menyesuaikan. Ya, OJK pasti mengarahkan supaya pricing UMKM jangan tinggi," ujarnya.
Supaya tak tinggi, Kuseryansyah menyebut dari sisi platform perlu adanya upaya melakukan efisiensi, kehandalan dari scoring, serta harus kuat tim penagihannya. Menurutnya, secara logika apabila cicilan terjangkau, maka peluang macetnya jadi berkurang.
Bercermin dari data bank dunia, yang mana kredit untuk mengisi UMKM itu sampai sekitar Rp 1.300 triliun, Kuseryansyah meyakini platform konsumtif seperti AdaKami kemungkinan punya porsi lebih besar untuk pendanaan produktif dan tak hanya sekadar 40% saja bagi AdaKami.
"Misalnya, meminjam Rp 1 juta untuk menjual gorengan, mau meminjam ke bank atau multifinance itu hitungannya 1 sampai 2 hari, padahal orang itu perlunya sekarang. Siapa yang bisa memenuhi pinjaman itu sekarang atau hari ini dan tak harus bertemu, ya, yang bisa hanya fintech. Oleh karena itu, banyak platform yang pengeluarannnya cash, tetapi menurut saya sebagian digunakan untuk produktif," ungkapnya.
Baca Juga: OJK akan Kaji Izin Baru Fintech dari Jenis Pembiayaan, Ini Kata Pelaku Industri
Sementara itu, Kuseryansyah berharap platform fintech seperti AdaKami juga bisa digunakan sepenuhnya untuk pembiayaan konsumtif dah itu hal yang wajar. Asalkan, orang tersebut punya pendapatan dan bisa bayar.
Dia menekankan kepada para platform supaya jangan salah memilih peminjam.
Kuseryansyah mencontohkan seandainya ada orang dikasih pinjaman, tetapi tidak ada pendapatan, ujung-ujungnya malah enggak bisa bayar dan yang menanggung akibat jadi platform tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News