Reporter: Herry Prasetyo, Anastasia Lilin Y, Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Dalam dunia dagang, tawaran harga murah dengan pelbagai diskon hingga obral bukanlah barang tabu. Adalah lazim bagi para pedagang menawarkan harga serendah mungkin demi menggaet pelanggan dan memenangi persaingan. Semua itu demi meraup keuntungan.
Namun, saat obral dan diskon semakin tak terkendali, efeknya sangat buruk. Alih-alih menangguk laba, pedagang akan merugi. Gambaran seperti itulah yang menimpa industri asuransi beberapa tahun terakhir. Masalahnya, obral harga dalam dunia dagang hanya merugikan pedagang, sementara di dunia asuransi akan berdampak pula ke konsumen. Gara-gara merugi, perusahaan asuransi tak bisa membayar klaim nasabah.
Demi memutus “lingkaran setan” tersebut, Otoritas Jasa Keuangan merilis Surat Edaran (SE) Nomor 6/D.05/2013 pada akhir 2013 lalu. Beleid ini mengatur penetapan tarif premi serta ketentuan biaya akuisisi pada lini usaha asuransi kendaraan bermotor dan asuransi harta benda. Aturan yang mulai berlaku 1 Februari mendatang ini juga mencakup tarif premi untuk risiko banjir, gempa bumi, letusan gunung, dan tsunami.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) II OJK Dumoly F. Pardede mengatakan, standardisasi tarif premi asuransi merupakan hal yang jamak di berbagai negara. Apalagi, OJK merasa perlu mengatur standardisasi tarif premi asuransi di Indonesia lantaran selama ini kecenderungan tarif premi asuransi umum berada di bawah harga wajar alias underprice. “Tarif premi asuransi kadang dipangkas hingga 50%,” katanya.
Wakil Direktur Utama Pan Pacific Insurance Junaidy mengakui persaingan di industri asuransi umum sangat ketat. Lantaran tak ingin kehilangan konsumen, perusahaan asuransi berlomba-lomba membanting tarif premi yang bermuara ke perang tarif. Apalagi, pengamat asuransi Munawar Kasan menambahkan, konsumen dan pialang asuransi memiliki posisi tawar yang kuat untuk meminta tarif lebih rendah. Maklum, jumlah perusahaan asuransi umum atau kerugian banyak, sedangkan permintaan minim.
Banting tarif premi, kata dia, paling terasa pada bisnis asuransi harta benda alias properti. Kalau tidak didongkrak tarif premi asuransi gempa bumi, tarif premi asuransi properti bisa dibilang tak ada harganya. Penilaian serupa diutarakan Kepala Bidang Statistik Informasi dan Analisa Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) sekaligus Anggota Tim Tarif OJK Budi Hermawan. Ia bilang, hanya asuransi gempa bumi yang memiliki harga. Sementara, risiko lain seperti kebakaran dan banjir hampir tidak memiliki harga. Makanya, “Tarif premi asuransi properti bisa 0,0001 per mil,” imbuh Junaidy.
Begitu pula, tarif premi kendaraan bermotor yang terbilang rendah. Dumoly mengatakan, tarif premi kendaraan bermotor di Indonesia paling murah di seluruh dunia. Padahal, jumlah kendaraan di Indonesia paling banyak. Kalau premi terlalu murah, perusahaan akan kesulitan membayar klaim.
Perang layanan
Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB dan anggota Dewan Komisioner OJK, mengatakan, penetapan tarif premi ini bertujuan menghentikan perang tarif yang terjadi di industri asuransi kerugian. Tarif premi yang terlalu rendah bisa mengakibatkan perusahaan asuransi tidak memiliki dana saat terjadi klaim.
“Ini berbahaya bagi konsumen,” tandasnya.
Tapi, demi melindungi konsumen dari kenaikan harga premi yang tinggi, OJK menetapkan batas atas dan bawah tarif premi asuransi properti dan kendaraan bermotor. Dus, menurut Dumoly, perusahaan asuransi tetap memiliki ruang untuk berkompetisi.
Selain tarif premi, OJK menetapkan batas maksimum biaya akuisisi dan diskon. Penjelasan sederhananya, biaya akuisisi adalah komisi atau imbalan yang dibayarkan perusahaan asuransi kepada agen pemasaran, bank, perusahaan multifi nance, dan pialang asuransi yang mendistribusikan produk asuransi.
Budi mengatakan, biaya akuisisi yang dikeluarkan perusahaan asuransi selama ini cukup besar. Porsinya mencapai 45% nilai premi bruto. Alhasil, premi yang masuk ke perusahaan asuransi semakin kecil.
Karena itu, batas maksimum biaya akuisisi dan diskon juga perlu diatur. Kalau tidak, penetapan tarif premi akan percuma. “Jangan sampai komisi lebih besar ketimbang risiko yang harus ditanggung asuransi,” kata Munawar.
Dumoly meminta perusahaan asuransi mematuhi aturan itu. Kalau ada yang melanggar, OJK siap menjatuhkan sanksi. “Kami bertanggungjawab mengawasi penerapan aturan,” katanya. Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor optimistis peraturan baru itu akan menyehatkan persaingan di industri asuransi. Alhasil, perang tarif akan bergeser menjadi perang layanan.
Kalau konsumen, sih, tedntu lebih suka tarif premi murah, asalkan pembayaran klaim, kalau kena musibah, terjamin!
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 18 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News