Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Belakangan ini marak pemberitaan terhadap industri fintech peer to peer (P2P) lending alias pinjaman online (pinjol). Mulai dari bunga, biaya layanan, biaya asuransi yang tinggi hingga proses penagihan yang dianggap di luar batas, melihat ini perlukah perubahan atau penambahan regulasi?
Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Edi Setijawan menyampaikan pihaknya tengah menyusun peta jalan (roadmap) Fintech P2P Lending untuk pengembangan industri ini.
Edi menyebutkan dalam penyesuaian regulasi dan penyusunan roadmap industri Fintech P2P Lending, OJK fokus pada aspek-aspek penguatan permodalan, tata kelola, dan manajemen risiko. Kemudian, penguatan pengaturan, pengawasan, dan perizinan.
Baca Juga: Bank Ramai-Ramai Ikut Berebut Kue Bisnis Paylater
Lalu, penguatan perlindungan konsumen, pengembangan elemen ekosistem dan pengembangan infrastruktur data dan sistem informasi.
“Melalui penguatan-penguatan tersebut diharapkan akan terwujud industri Fintech P2P Lending yang sehat, berintegritas, dan berorientasi pada inklusi keuangan dan perlindungan konsumen serta berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya kepada KONTAN, Selasa (3/10).
Terkait bunga pinjol yang dinilai tinggi, Edi menuturkan bahwa pengaturan bunga pinjaman saat ini masih diatur sendiri oleh industri melalui asosiasi atau yang dikenal sebagai Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Namun, kata dia, apabila dikemudian hari ditemukan ketidakwajaran dalam pemberian bunga tersebut OJK bisa turut andil dalam melakukan tindakan.
“Idealnya diserahkan ke mekanisme pasar. Namun jika dinilai ada ketidakwajaran OJK bisa melakukan tindakan pengawasan,” tandasnya.
Sebelumnya, Pengamat sekaligus Direktur Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan OJK harus ikut bertanggung jawab melalui regulasi untuk menetapkan biaya yang dikenakan kepada borrower (peminjam) oleh fintech P2P lending.
"OJK perlu mengatur soal denda, biaya layanan, dan asuransi," ucapnya kepada KONTAN beberapa waktu lalu.
Bhima bilang, biaya layanan pinjol relatif tinggi dan tidak wajar kalau dibebankan ke pihak peminjam. Dia mengatakan pihak fintech masalahnya selalu beralasan bahwa biaya layanan tinggi karena termasuk asuransi.
Baca Juga: Waspada Jerat Pinjaman Pribadi atau Pinpri, Ini Modusnya yang Meresahkan
Seharusnya, lanjut Bhima, biaya asuransi pinjaman itu dibebankan kepada lender atau pemilik dana. Dengan demikian, asuransi bertujuan mengganti sebagian pinjaman macet untuk melindungi pemilik dana.
"Jangan di balik, justru asuransi sebagian besar dibebankan ke peminjam," ungkapnya.
Bhima menilai sejauh ini ada ruang kosong regulasi karena masalah biaya layanan tidak diatur eksplisit ke dalam POJK 10/POJK.05/2022. Jadi, ditambah pada bagian kegiatan usaha.
"Belum ada soalnya aturan maksimum biaya layanan. Misalnya, 5%-10% dari pokok pinjaman perlu diatur oleh OJK secepat mungkin," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News