Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Dessy Rosalina
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai saat ini hampir sebanyak 70% penutupan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diakibatkan oleh buruknya pelayanan dan tata kelola perusahaan atau Good Corporate Governance (GCG).
Lebih lanjut, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad pun menghimbau agar BPR semakin meningkatkan pelayanan guna mendorong pertumbuhan BPR di Indonesia. "BPR itu 70% dicopot karena GCG, karena kalau melihat dari daya tahan (agility) terhadap persaingan sangat kuat sebenarnya," ujarnya dalam Seminar Pengembangan Produk dan Layanan BPR serta Strategi Branding BPR di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (10/7).
OJK pun menyayangkan fakta tersebut dan meminta agar BPR saling bersinergi dan bekerjasama untuk mebereskan permasalahan mendasar tersebut.
Tidak hanya dari sisi tata kelola, masalah klasik yang kerap terjadi antara lain Sumber Daya Manusia (SDM) di BPR yang masih belum memadai. Alhasil, pengelolaan atau pemberian kredit pun tidak termitigasi dengan baik.
Sebagai informasi saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat perkembangan industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pada April 2017 tumbuh positif dengan total aset mencapai Rp 115,2 triliun atau meningkat 10,18% secara tahunan atau year on year (yoy).
Sementara itu, berdasarkan data OJK saat ini jumlah BPR yang tersebar di seluruh Indonesia mencapai 1.621 dengan kredit yang berhasil disalurkan sebesar Rp 110,9 triliun atau tumbuh 9,95% yoy. Adapun, dari kinerja tersebut, BPR berhasil menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 95,5 triliun, DPK BPR tercatat mengalami kenaikan 9,8% secara yoy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News