kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.528.000   8.000   0,53%
  • USD/IDR 16.249   -49,00   -0,30%
  • IDX 7.070   4,24   0,06%
  • KOMPAS100 1.057   1,04   0,10%
  • LQ45 829   -1,69   -0,20%
  • ISSI 215   0,70   0,33%
  • IDX30 423   -0,88   -0,21%
  • IDXHIDIV20 513   0,07   0,01%
  • IDX80 120   -0,02   -0,02%
  • IDXV30 125   0,88   0,71%
  • IDXQ30 142   0,02   0,02%

OJK untuk Mencegah Abuse of Power Bank Sentral


Senin, 09 Agustus 2010 / 20:52 WIB


Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Salah satu hal yang menjadi dasar argumen pasal 34 UU Bank Indonesia yang mengamanatkan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya abuse of power.

Keberadaan bank sentral yang memegang wewenang di sektor moneter dan perbankan sekaligus membuka peluang abuse of power alias penyelewengan kekuasaan. Hal ini terjadi di banyak negara yang menyatukan wewenang sektor moneter dan perbankan di satu tangan.

Itulah sebabnya, menurut Ketua Tim Perumus Rancangan Undang- Undang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK) Fuad Rahmany, Bank Indonesia harus melepaskan fungsi pengawasan perbankan. "Ada dalam literatur, pengalaman negara-negara di dunia, jika otoritas moneter dan perbankan digabungkan akan ada masalah conflict of interest," kata Fuad dalam Seminar dan Diskusi tentang OJK di Bursa Efek Indonesia, Senin (9/8).

Bank sentral sebagai otoritas moneter berwenang mencetak uang dan mengeluarkan instrumen-instrumen moneter untuk mengatur likuiditas. Adapun dengan fungsi sebagai otoritas perbankan, bank sentral di saat yang sama diberi wewenang untuk mengeluarkan aturan terkait sektor perbankan dari mulai izin pendirian bank juga prudential regulation bank mengundang peluang adanya konflik kepentingan.

Misalnya, ketika ada suatu bank dinyatakan tidak sehat di mana sejatinya ketidaksehatan bank tersebut adalah karena manajemen yang buruk dan ketidakberesan menjalankan bisnis. "Artinya, tidak sehatnya bank karena ada unsur prudential regulation yang dilanggar. Namun, bank sentral banyak yang kemudian mendekatinya untuk menyelesaikan masalah tidak dengan pendekatan prudential regulation. Seperti disuruh menambah modal," papar Fuad.

Sebaliknya, kecenderungan bank sentral justru mengambil pendekatan sebagai otoritas moneter yakni dengan menerbitkan aturan yang memungkinkan bank tersebut mendapatkan bantuan likuiditas, seperti dalam bentuk Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). "Mengapa demikian? Ini karena kecenderungan bank sentral di mana pun adalah menjaga reputasi, jadi cenderung untuk menyelamatkan. Ini hasil studi ya, pengalaman di banyak negara, ada argumen conflict of interest maka itu dua wewenang itu harus dipisah," papar Fuad.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×