Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Mesti Sinaga
JAKARTA. Nilai tukar rupiah yang belakangan terus menurun, membawa kekuatiran di berbagai sektor. Salah satunya, di sektor perbankan. Jika rupiah terus melemah, bank-bank bisa berada dalam kesulitan.
Hal ini terlihat dari hasil stress test yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hasil uji ketahanan ini menunjukkan, jika nilai tukar rupiah karam ke Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS), terdapat sekitar satu sampai lima bank yang profil risiko permodalnya akan tergerus.
Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan OJK, Irwan Lubis, menjelaskan, bank yang profil risikonya di level 12%-13% berpotensi terimbas jika depresiasi rupiah mencapai Rp 15.000 per dollar AS.
Namun Irwan menandaskan, bank yang diperkirakan OJK terkena dampak tersebut hanya bank-bank kecil.
Rasio kecukupan modal atawa capital adequacy ratio (CAR) bank-bank tersebut terimbas akibat second round effect. Ini terjadi akibat imbas depresiasi rupiah yang memicu naiknya rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank-bank tersebut. Hal ini dapat menimpa CAR perbankan, meski tidak berpraktik sebagai bank devisa.
Irwan merinci, terdapat dua tipikal risiko yang dapat menimpa perbankan jika rupiah terpuruk ke Rp 15.000 per dollar AS.
Pertama, risiko first round effect melalui risiko pasar. Artinya, jika perbankan memiliki exposure valas besar yang sifatnya jangka pendek, maka laba-rugi perbankan dapat terkena dampak akibat pelemahan rupiah hingga ke level Rp 15.000 per dollar AS.
Kedua, risiko second round effect yaitu melalui NPL. Hal ini bisa menimpa bank yang menyalurkan kredit kepada debitur yang usahanya bersentuhan dengan komponen-komponen impor atau juga penggunaan valas. Nah, jika kondisi debitur terganggu akibat nilai tukar rupiah yang terdepresiasi, maka bisa berakibat pada kelancaran pembayaran kredit.
"Akibatnya, pembentukan cadangan kerugian di perbankan semakin besar yang artinya berpengaruh
terhadap laba-rugi perbankan, selanjutnya berimbas pada modal. Nanti akan terkena kepada profil risiko bank," jelas Irwan.
Oleh karena itu, kata Irwan, OJK melakukan monitoring setiap hari terhadap kondisi modal perbankan.
Atas hasil stress test yang telah dilakukan ini, OJK akan melakukan supervisory terhadap manajemen individu bank. OJK akan melakukan pengawasan lebih ketat terhadap perbankan yang memiliki exposure sektor valas yang besar.
"Sebab, ada faktor sektor yang sebelum terjadinya depresiasi rupiah, kondisinya sudah menurun, seperti pertambangan, batubara dan kelapa sawit. Jadi itu yang harus diwaspadai," ujar Irwan.
Lebih lanjut Irwan menuturkan, ketahanan perbankan masih baik atas stress test yang dilakukan OJK jika terjadi pelemahan rupiah sampai dengan Rp 14.000 per dollar AS.
"Stress test tidak gunakan satu variabel saja, seperti pelemahan rupiah, tapi banyak. Peraturan industri perbankan jelas. Transaksi derivatif dilakukan tiga variable, yaitu tingkat bunga, nilai tukar, dan juga kombinasi keduanya. Hasilnya akan ada koreksi pertumbuhan ekonomi, terjadi second round effect berupa NPL, namun dengan pelemahan sampai dengan Rp 14.000, kondisi perbankan Indonesia masih baik. Tidak ada satu pun perbankan yang modal profil risikonya ter-hit," jelas Irwan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News