Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Tangannya sedang memegang pena. Ia bercerita sembari jemarinya memainkan pulpen berlogo Bank Maybank Indonesia dengan warna putih-kuning itu. Entah sadar atau tidak dengan apa yang dilakukannya, yang jelas dia masih terus memberikan penjelasan. Ia bercerita tentang perlambatan ekonomi yang akhirnya merembet juga ke industri perbankan termasuk, bank tempatnya bekerja.
Sebut saja, nama pria yang tidak mau diungkap jati dirinya ini Ardiansyah, bankir yang menyandang jabatan head di bank yang sebelumnya bernama Bank Internasional Indonesia (BII) itu. Dulu, kata dia, pemegang saham bank rata-rata fokus pada aset. Sekarang, tren itu berubah, pemegang saham fokus menuntut profit. Kemudian, rasio-rasio utama yang mengikutinya, seperti biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO), margin bunga bersih (net interest margin/NIM), dan sebagainya.
Nah, di saat situasi ekonomi seperti ini apa yang dilakukan manajemen bank? Ada dua cara paling mudah dan sederhana yaitu rasionalisasi karyawan dan menutup kantor cabang terutama cabang pembantu yang tak pernah memberi untung. “Dua langkah ini cepat mengangkat kinerja khususnya BOPO,” ujar Ardiansyah.
Menurut cerita dia, saat ini Bank Maybank sedang berhitung, istilah bekennya efisiensi. “Prosesnya sampai Desember. Beberapa opsinya, ya, dua itu tadi, rasionalisasi dan menutup kantor cabang,” katanya.
Ini berarti, bakal ada dua bank besar mengefisienkan diri sejak medio 2015. Pertengahan Mei lalu, Bank CIBM Niaga melansir pengumuman di situs resminya tentang penawaran pensiun dini ke karyawan mereka di Malaysia dan Indonesia. Istilah tawaran itu, menurut CIMB Niaga, mutual separation scheme (MSS).
Program efisiensi
Tengku Dato’ Zafrul Aziz Tengku Aziz, Group Chief Executive CIMB Group, bilang, tawaran ini murni bersifat sukarela, atas pilihan karyawan. Alasan bank ini mengeluarkan kebijakan itu: struktur biaya dan tuntutan efisiensi.
Maklum, di laporan publikasi ke OJK, biaya tenaga kerja CIMB Niaga memang melonjak. Per Mei 2015, CIMB Niaga harus merogoh Rp 1,49 triliun untuk biaya tenaga kerja. Nilai ini naik 19,20% dibanding periode yang sama tahun 2014 sebesar Rp 1,25 triliun. “Di Indonesia, tawaran semacam ini pertama kalinya ada sejak Bank Niaga dan Lippo Bank merger tujuh tahun lalu,” ucap Zafrul.
Tapi, Lani Darmawan, Direktur Ritel Bank Maybank, secara tegas menampik rencana rasionalisasi karyawan di banknya. Meski begitu, Lani mengatakan, langkah efisiensi merupakan bagian dari memaksimalkan kinerja secara konsisten dari tahun ke tahun. “Bukan hanya saat ini,” jelas Lani.
Efisiensi di Bank Maybank berjalan melalui berbagai program. Misalnya, fokus ke dana murah alias current account saving account (CASA), penerapan manajemen risiko yang ketat, serta capital light lending. “Relokasi, pembukaan, penutupan cabang juga dilakukan sehubungan dengan rencana dan fokus bisnis bank. Jadi, tidak ada inisiatif efisiensi dadakan,” tegas Lani.
Di atas kertas, menurut laporan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) terbaru, laba industri perbankan memang mengkerut. Laba industri bank selama semester I–2015 menyusut 10,40%, dari Rp 65,96 triliun menjadi Rp 59,07 triliun.
Data itu menunjukkan, penyebab utama melambatnya kinerja bank ternyata dipicu oleh pertumbuhan beban biaya yang melaju kencang. Beban bunga industri perbankan naik 22,1% di paro pertama tahun ini, dari Rp 161,33 triliun menjadi Rp 197,11 triliun. Sementara beban operasional selain bunga terkerek 24,1%, dari Rp 165,39 triliun jadi Rp 205,31 triliun.
Maka tak heran, sejak awal tahun bank ramai-ramai menggunting suku bunga deposito guna mendandani rapornya. Lihat saja data Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) Bank Indonesia, bunga deposito sembilan dari 10 bank papan atas susut. Hanya Bank Tabungan Negara (BTN) yang masih kerek bunga deposito. Sejak awal tahun, penurunan bunga deposito terbesar di lakukan Bank Central Asia (BCA) yakni sudah melorot 190 basis poin (bps).
Kenyataannya, aktivitas ekonomi yang melambat akhirnya membuat jumlah uang beredar merosot dan sudah terbukti dampaknya ke kinerja bank. Sedang rasio kredit bermasalah menunjukkan tanda-tanda peningkatan, dari 2,24% menjadi 2,70%. “Semua bankir sedang pusing,” cetus Ardiansyah.
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 2-XX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News