Reporter: Andri Indradie, Muhammad Yazid, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Barangkali memang benar; sekarang banyak bankir sedang pusing. Betapa tidak? Tuntutan efisiensi bukan hanya tentang kebutuhan perusahaan. Pemerintah pun bakal ikut-ikutan menekan.
Kamis (1/10) pekan lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, pemerintah ingin perbankan efisien. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal dirangkul untuk menekan bank-bank yang kurang efisien. Bahkan, kewajiban bank agar bisnisnya efisien ini bakal masuk ke paket kebijakan ekonomi pemerintah jilid III. Rencananya, paket tersebut meluncur minggu ini.
Maklum, tren yang terjadi selama ini perbankan cukup kencang mengempiskan suku bunga deposito. Tapi, mereka pelit sekali memangkas bunga kreditnya. Alasannya, kata Darmin, karena bank tak efisien.
Cuma, hampir semua bankir tak sepakat dengan Darmin, termasuk Muliaman Darmansyah Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK. Menurut Muliaman, sekarang marak sekali bank memangkas bunga deposito lantaran melimpahnya likuiditas di perbankan.
Bukti likuiditas yang melimpah itu bisa dilihat dari rasio kredit terhadap simpanan alias loan to deposit ratio (LDR). Sampai Juli 2015 lalu, angka LDR masih di kisaran 88,56% atau jauh di bawah periode tahun 2014 yang 92,50%.
Likuiditas yang berlimpah tersebut sayangnya bertubrukan dengan pertumbuhan ekonomi yang melamban. Per Juli 2015, Bank Pembangunan Asia (ADB) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 5%, dari sebelumnya 5,5%. Sebab, penyerapan anggaran pemerintah dan penerimaan pajak masih lambat hingga semester I 2015.
Sementara Bank Dunia mengganti proyeksi pertumbuhan ekonomi negara kita ke level 4,7%, dari sebelumnya 5,2%. Terutama lantaran harga komoditas dan pertumbuhan investasi yang masih melemah.
Pemerintah memang sudah meluncurkan dua paket kebijakan ekonomi termasuk revisi aturan perizinan dan akuisisi lahan. Namun, dampaknya belum terasa sampai kini.
Di satu sisi, lantaran situasi ekonomi yang berjalan bak siput itu pula, pengucuran kredit bank juga bakal lelet. “Jadi, bank menurunkan bunga deposito,” tutur Muliaman.
Memoles kinerja
Bank yang memangkas bunga deposito, misalnya, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk. Budi Satria, Sekretaris Perusahaan BRI, menyebutkan, banknya terpaksa menempuh cara ini di triwulan II 2015 gara-gara likuiditas yang melimpah. Waktu itu, pada Maret 2015, LDR industri bank 87,60%.
Bank pelat merah ini juga melihat penurunan pertumbuhan kredit karena ekonomi yang lesu. Alasan lainnya, “Komparasi terhadap pesaing yang juga telah menurunkan suku bunga deposito,” tegas Budi.
Selain itu, pengguntingan bunga deposito bertujuan untuk menjaga profitabilitas. Caranya, dengan menurunkan beban bunga. “Mengingat ekspektasi pendapatan bunga juga akan turun seiring dengan revisi target pertumbuhan kredit. Hasil dari strategi ini terlihat dari turunnya biaya dana atau cost of fund (CoF) dari 4,74% pada Maret 2015 menjadi 4,50% di Juni 2015,” imbuh Budi.
Tapi, penurunan bunga deposito terbesar dilakukan PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Sejak awal tahun, bunga deposito bank ini sudah susut 190 basis poin (bps). Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA, menegaskan, banknya rutin menurunkan bunga deposito sejak Februari 2015 lalu. “Sudah delapan kali kami turunkan bunga deposito. Tiap bulan rata-rata turun 0,25%,” ujar Jahja.
Sedang Wan Razly, Direktur Strategy and Finance PT Bank CIMB Niaga Tbk, bilang, soal menentukan tingkat bunga simpanan, banknya selalu menyesuaikan tingkat bunga risk free dan cost of fund. Strateginya, mengerek porsi dana murah atawa current account saving account (CASA) supaya meringankan beban bunga.
Beban operasional CIMB Niaga di semester I 2015 mencapai Rp 3,7 triliun. Per 30 Juni 2015, rasio CASA bank asal Malaysia ini berhasil meningkat 190 basis poin (bps) menjadi 47,4% dibanding periode yang sama tahun 2014 lalu sebesar 45,5%. Lalu, nilai giro CIMB Niaga sebesar
Rp 46,93 triliun atau naik 24,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan tabungan sebanyak Rp 41,26 triliun, tumbuh 9,4% dalam setahun.
Berbeda dengan yang lain, Sekretaris Perusahaan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Eko Waluyo mengatakan dengan gaya sedikit normatif. Alasan BTN menurunkan suku bunga deposito supaya bunga pinjaman bisa turun. “Sehingga ini bisa mempercepat pertumbuhan kredit dan menopang pertumbuhan ekonomi secara nasional,” cetus dia.
Tapi, coba tengok kinerja perbankan sepanjang tahun ini. Data terbaru OJK menunjukkan, laba industri perbankan per Juli lalu turun 10,40%, dari Rp 65,96 menjadi Rp 59,07 triliun. Penyebabnya, terutama karena beban biaya yang terbang tinggi. Peningkatan beban bunga ini hampir terjadi di semua bank (lihat tabel).
Lalu, sampai kapan pemangkasan bunga deposito ini? Menurut survei perbankan BI terbaru, pemangkasan bunga sebagai bagian CoF itu akan berlanjut hingga di akhir triwulan III 2015. Sehingga, rata-rata biaya yang dikeluarkan bank (CoF) diperkirakan menjadi 6,92% atau turun satu basis poin dari kuartal sebelumnya.
Hanya persoalannya, biaya dana yang dioperasionalkan untuk memperoleh pendapatan atau cost of loanable fund (CoLF) diperkirakan akan naik 15 bsp menjadi 10,34%. Selain itu, survei ini juga menyebut risiko penyaluran kredit mengalami peningkatan terutama pertumbuhan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL), terutama kredit modal kerja dan kredit investasi.
Dengan kenaikan CoLF dan risiko penyaluran kredit NPL, diperkirakan rata-rata bunga kredit triwulan III 2015 justru akan meningkat. Rata-rata bunga kredit modal kerja bakal naik 5 bsp menjadi 13,74%, kredit investasi meningkat 9 bsp jadi 13,72%, dan kredit konsumsi naik 3 bsp jadi 14,82%.
Mencapai target kredit
Padahal, penyaluran kredit merupakan salah satu pendorong berputarnya roda ekonomi. Tahun ini, target penyaluran kredit perbankan nasional mencapai 13%–15%. Akankah tercapai? Sepertinya masih jauh dari harapan, terutama bank nasional papan atas sebagai penggerak pasar penyaluran kredit justru memangkas target pertumbuhan kreditnya.
Bank Mandiri, contohnya, sudah merevisi target penyaluran kreditnya dari 15%–17% menjadi tinggal 13%–14%. Kemudian BRI memangkas target kredit mereka dari 15%–17% ke angka 13%–15% atau 14%-16%.
Sementara PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk menurunkan target kredit dari 15%–17% menjadi 14%–15%. PT Bank Danamon Tbk juga memangkas dari 10%–12% jadi di bawah 10%, lantas Bank Maybank dari 15%–17% menjadi 11%–13%.
Hanya dua bank yang tak merevisi target pertumbuhan penyaluran kredit, BCA dan PT Bank Permata Tbk. Masing-masing tetap menjaga di angka 12% dan 10%. Sedangkan BTN, kata Eko, akan menargetkan pertumbuhan kredit 15%–18%. “Kami akan mempertahankan di angka segitu,” ungkap Eko.
Repotnya lagi, BI justru menahan suku bunga acuan BI rate di angka 7,5%, dengan bunga deposit facility 5,5% dan lending facility 8%. Padahal, BI rate sangat menentukan menekan CoF perbankan. Jika suku bunga deposito makin cepat turun, tentu akan cepat pula bunga kredit melandai.
Untuk menggenjot kredit, pemerintah sebaiknya bukan cuma menekan bank agar efisien. Namun, kata pengamat perbankan Paul Sutaryono, pemerintah bisa memberikan stimulus yang lebih konkret. Misalnya, mengubah rasio loan to value (LTV) dari 70% menjadi 80% untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB). Alhasil, uang muka bisa terkikis sekitar 30% jadi 20% dari nilai barang.
Lantas, bisa juga menambah produk-produk simpanan bukan hanya dana pihak ketiga (DPK). Simpanan bisa diperkaya dengan memasukkan komponen-komponen, seperti surat utang, Kontak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA), dan medium term loan.
BI juga bisa melonggarkan batas atas LDR dari 92% menjadi 94%. Insentif itu berlaku bagi bank nasional yang telah memenuhi kewajiban pengucuran kredit ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) minimal 5% pada akhir 2015, dengan rasio NPL di bawah 5%.
Menurut Paul, penurunan bunga deposito dampaknya akan bagus terutama jika dilakukan bank-bank BUKU IV. Sebab, merekalah yang bertindak sebagai pengendali pasar. Bukan karena ditekan pemerintah, tapi sebagai inisiatif. Jika pengendali pasar gencar menurunkan bunga deposito, tentu langkah ini akan diikuti bank-bank lain dengan segera.
Paul juga mengusulkan giro wajib minimum (GWM) primer rupiah dari 8% menjadi 6% atas DPK dalam rupiah. “Sangat mungkin dilakukan bersamaan dengan pelonggaran LDR dari 92% jadi 94%,” katanya. Tujuannya, menambah amunisi bank guna menggenjot kredit sehingga LDR naik jadi 94%.
Mungkinkah?
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 2-XX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News