Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. WWF merilis laporan Sustainable Finance Regulations and Central Bank Activities (SUSREG) ke-4 terkait aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola atau environmental, social and governance (ESG) bagi para regulator keuangan di 52 negara. Integrasi ESG dalam kebijakan sektor keuangan ini memungkinkan institusi finansial seperti perbankan melakukan memobilisasi dana untuk membiayai investasi yang berkelanjutan.
Nah, WWF-Indonesia menyampaikan hasil laporan tahun 2024 tentang perkembangan keuangan berkelanjutan melalui laporan SUSREG dan keterkaitannya dengan perkembangan perbankan melalui laporan Sustainable Banking Assessment (SUSBA) di Indonesia yang menunjukkan adanya efektivitas dalam penerapan regulasi
Dalam laporan SUSREG 2024 yang disajikan di Jakarta pada Rabu (26/2) tersebut, terdapat penguatan manajemen risiko iklim di Indonesia yang salah satunya ditandai dengan penerbitan serangkaian panduan terkait risiko iklim oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca Juga: Adora Raih Sejumlah Capaian Positif Selama IIMS 2025
Selain itu, laporan tersebut juga menunjukkan adanya peningkatan ekspektasi regulator terhadap strategi dan manajemen iklim untuk diterapkan oleh perbankan yang diukur dari kenaikan sebanyak tiga kriteria dari tahun kemarin Sementara ekspektasi sub- pilar penerapan fungsi kepatuhan, manajemen risiko, serta audit internal (three lines of defence) dalam aspek iklim juga turut meningkat.
Sebelumnya, WWF juga mempublikasikan laporan SUSBA 2024 yang mengukur penerapan industri perbankan berkelanjutan di Asia. Berdasarkan maturity level SUSBA tersebut, terdapat 75% dari 11 bank yang dinilai telah masuk ke dalam fase rekognisi dan lebih dari 50% sudah memenuhi fase implement.
Tercatat tujuh dari 11 bank yang dinilai SUSBA telah melakukan analisa risiko iklim dan mulai mengembangkan strategi pengelolaan terhadap risiko iklim yang relatif sederhana. Laporan SUSREG juga mencatat adanya perkembangan dari sisi bank sentral. Salah satu bentuk realisasinya adalah penerapan Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) 11/2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).
Melalui kebijakan ini, Bank Indonesia memberikan insentif likuiditas dalam bentuk pengurangan Giro Wajib Minimum (GWM) bagi bank yang menyalurkan pembiayaan ke sektor yang berwawasan lingkungan. Insentif tersebut menstimulasi penyaluran pembiayaan berkelanjutan, dengan beberapa anggota Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI) mengembangkan produk seperti green bonds, sustainability-linked loan dan instrumen lainnya.
Baca Juga: Pemberian Hak Monopoli BUMN Berpotensi Timbulkan Persaingan Usaha Tak Sehat
Total instrumen pembiayaan hijau yang tercatat mencapai Rp 52, triliun pada akhir 2024. WWF menilai kebijakan tersebut positif bagi pengembangan produk keuangan berkelanjutan di Indonesia, namun masih diperlukan langkah penyeragaman standarisasi dan kriteria berkelanjutan yang berdampak dengan tingkat interoperabilitas tinggi.
“Penguatan infrastruktur dan kapasitas bank dalam mengelola risiko dan peluang iklim menjadi langkah penting. WWF menyambut baik pengembangan kebijakan dan panduan terkait keuangan berkelanjutan yang diluncurkan oleh para regulator keuangan,” kata Irfan Bakhtiar, Direktur Iklim dan Transformasi Pasar, WWF-Indonesia di Jakarta, Rabu (26/2).
Irfan bilang, beberapa inisiatif yang dilakukan otoritas keuangan adalah; Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) serta panduan terkait manajemen risiko iklim yang dikembangkan oleh OJK, serta insentif likuiditas makroprudensial ekonomi hijau yang digulirkan oleh Bank Indonesia. “Tanpa langkah proaktif, industri perbankan berisiko menghadapi biaya yang lebih tinggi dan tidak terduga,” kata Irfan.
Selain itu, dalam temuan the World Economic Forum (WEF) menunjukkan ketergantungan ekonomi yang sangat tinggi dengan alam. Lebih dari 50% PDB dunia bergantung pada kelestarian alam. Temuan United Nations Environment Programme Finance Initiative (UNEP FI) juga menegaskan net zero tak mungkin tercapai jika degradasi alam terus terjadi.
Baca Juga: Saham Bank Himbara Anjlok Saat Danantara Berdiri, Ini Kata Rosan Roeslani
Hal ini berkaitan dengan perlunya strategi iklim perusahaan yang mempertimbangkan pelestarian dan pemulihan alam. Upaya ini semakin menantang di tengah penurunan populasi satwa liar hingga 73% dalam lima dekade terakhir, dimana spesies air tawar paling terancam (temuan Living Planet Report WWF 2024).
Rizkia Sari Yudawinata, Sustainable Finance Lead, WWF-Indonesia menambahkan, pengelolaan risiko dan peluang usaha terkait iklim dan alam tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah. Keduanya saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri-sendiri.
“Hal ini sejalan dengan prinsip Do No Significant Harm (DNSH) yang diterapkan di dalam taksonomi berkelanjutan Indonesia (TKBI) dalam rangka memastikan investasi yang berkaitan dengan net zero, baik langsung maupun tidak langsung, tidak memberi dampak negatif secara sosial dan lingkungan,” kata Rizkia.
Selain itu, beberapa instrumen kebijakan moneter seperti GWM dan KLM bisa dioptimalkan lebih lanjut untuk menstimulasi pembiayaan dalam rangka mendukung pencapaian target keberlanjutan. Salah satu caranya dengan penyelarasan kriteria yang sejalan dengan TKBI.
Guna mendukung pengembangan pengelolaan risiko iklim dan lingkungan yang holistik di dalam negeri, WWF-Indonesia juga menginisiasi program peningkatan kapasitas terkait pentingnya integrasi risiko iklim kepada perbankan, lebih lanjut juga pada risiko terkait alam melalui adopsi Task Force on Nature-related Financial Disclosures (TNFD) untuk jangka lima tahun ke depan. Program pelatihan yang diadakan di akhir 2024 menjadi awal rangkaian kegiatan Indonesia Nature-positive Forum guna memperkuat koordinasi dan penyelarasan aksi serta kebijakan antar pemangku kepentingan.
Selanjutnya: Zulhas Wanti-Wanti Pengusaha Tak Mainkan Harga Pangan Saat Ramadan dan Lebaran
Menarik Dibaca: Bali Soap Luncurkan Produk Body Butter dan Hand Cream Terbaru
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News