Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
JAKARTA. Perusahaan financial technology (fintech) masih berpeluang besar mengais pasar di Indonesia. Mengutip data Statista.com, nilai transaksi perusahaan teknologi keuangan alias fintech tahun ini diperkirakan mencapai US$ 18,65 miliar atau Rp 251,77 triliun (asumsi kurs Rp 13.500 per dollar AS). Dari jumlah itu, sekitar US$ 18,61 miliar merupakan kontribusi pembayaran digital.
Dengan pertumbuhan rata-rata per tahun mencapai 18,8%, tahun ini 2021 nilai transaksi akan mencapai US$ 37,15 miliar atau Rp 501,52 triliun. Ini potensi bisnis yang luar biasa.
Bahkan Peneliti Indef Bhima Yudhistira melihat potensi bisnis fintech lebih besar lagi. Menurut dia, total kebutuhan pembiayaan nasional adalah Rp 1.649 triliun. Sementara kapasitas perbankan hanya Rp 660 triliun. Selisih Rp 989 triliun itu bisa diisi oleh fintech.
Di sisi lain, fintech juga bisa mendorong inklusi keuangan. Tercatat Cuma ada 11 juta UMKM yang bankable. Mayoritas, yakni 49 juta UMKM masih unbankable. “Nah, fintech diharapkan memperluas pelayanan keuangan ke sektor UMKM yang unbankable,” kata Bhima, dalam rilis yang diterima KONTAN, Minggu (26/3) malam.
Besarnya peluang fintech, juga memicu banyaknya seminar dan konferensi yang terkait bisnis ini. Tahun lalu misalnya diadakan Fintech Festival & Conference 2016. Dan pada 30 Maret mendatang akan diselenggarakan INDOFINTECH2017.
Pertanyaan yang muncul dalam diskusi dan seminar antara lain ke mana arah perkembangan fintech di Indonesia, bagaimana mitigasi risiko dari transaksi digital, serta bagaimana perlindungan konsumen. Di sinilah peran regulator menjadi penting. Inovasi teknologi adalah suatu keniscayaan. Regulator perlu selalu berada di dekat inovasi. Iklim berusaha yang kondusif perlu terus dirangsang tumbuh untuk mendorong ekonomi, namun dengan tetap memperhatikan kehati-hatian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News