kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Pengamat: institusi keuangan kok cekak


Rabu, 05 Februari 2014 / 15:14 WIB
Pengamat: institusi keuangan kok cekak
ILUSTRASI. Kulit sehat dan cerah adalah beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari melakukan treatment perawatan kulit ayurveda.


Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Industri asuransi yang selama ini gembar-gembor memberikan perlindungan keuangan, ada baiknya introspeksi diri. Sebagai institusi keuangan, sudah sepatutnya pengelolaan perusahaan asuransi mengutamakan prinsip kehati-hatian. Nah persoalannya prinsip kehati-hatian ini bukan cuma tercermin dari seleksi risiko yang baik, tetapi juga dari kondisi modal masing-masing perusahaan.

Kok bisa? Munir Sjamsoedin, pengamat asuransi mengatakan, perusahaan asuransi dengan permodalan mapan akan terdorong untuk menghasilkan Return on Investment (RoI) yang tinggi. “Untuk mendapat RoI yang tinggi, caranya mempertebal retensi risiko yang ditahan sendiri,” ujarnya kepada KONTAN, Rabu (5/2).

Modal yang dimiliki perusahaan asuransi menjadi faktor kunci untuk menentukan besaran batas retensi. Itu artinya, perusahaan bermodal mapan, tentu kemampuannya dalam menahan risiko akan lebih besar. Sebaliknya, perusahaan bermodal mini, kemampuannya menahan risiko pun menjadi lebih terbatas. Ini seperti hukum alam.

Tetapi, ada juga faktor lainnya yang ikut menentukan batas retensi yang dapat ditahan, yaitu besarnya manfaat asuransi dan jumlah pemegang polis. Sederhananya, seberapa banyak risiko yang bisa ditahan oleh perusahaan asuransi, sisanya dialihkan ke asuradur. Asuradur ini bisa saja perusahaan asuransi lain atau reasuransi.

Regulator sendiri sudah memaksa perusahaan asuransi untuk menggemukkan kantong permodalan mereka. Salah satunya tercermin lewat Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008. Dalam pasal 6B dinyatakan, perusahaan asuransi harus bermodal paling sedikit Rp 40 miliar pada 2010, menjadi Rp 70 miliar pada 2012 dan Rp 100 miliar pada 2014 akhir.

Memang, akhirnya, banyak juga perusahaan asuransi yang berlomba-lomba menambah modal mereka. Namun, kecenderungannya hanya demi memenuhi aturan permodalan. Alhasil, cuma memenuhi batas modal minimum. Meski, masih ada juga yang bandel ngos-ngosan dengan modal se-ala kadarnya.

“Kalau regulator ingin membentuk reasuransi raksasa melalui merger beberapa perusahan asuransi dan reasuransi pelat merah dengan target modal Rp 5 triliun, rasanya aneh kalau perusahaan asuransinya masih Rp 100 miliar. Asuransi itu institusi keuangan, kok bermodal cekak?” pungkasnya.

Asal tahu, dari dua kegiatan industri asuransi, yakni asuransi jiwa dan asuransi kerugian atau umum, banyak di antaranya yang masih bermodal mini, terutama di industri asuransi kerugian. Salah satunya, Asuransi Jasa Tania. Per 31 Desember 2013 lalu, modal Jasa Tania cuma Rp 86 miliar. Hasbi Ashiddiqi, Sekretaris Perusahaan Jasa Tania mengaku, manajemen tengah memutar otak untuk menggenjot modal.

Tak ketinggalan, Asuransi Binagriya Upakara juga masih berkantong kempes alias tongpes. Perusahaan ini mengklaim, modalnya masih kurang Rp 8,5 miliar dari ketentuan akhir tahun nanti sebesar Rp 100 miliar. Pun demikian, manajemen optimistis, target modal Rp 100 miliar bakal tercapai dengan cara laba ditahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×