Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong pembentukan Undang-undang (UU) Financial Technology (Fintech) untuk memperjelas landasan hukum industri keuangan berbasis teknologi. Apalagi saat ini, Indonesia belum punya landasan hukum kuat untuk menindak pemain fintech ilegal.
“Fintech ini belum ada UU-nya, Artinya jika dibuat akan memperjelas kedudukannya di hukum. Dari penjelasan fintech itu apa, kemudian bisnisnya apa saja, siapa saja yang mengatur, apa saja yang boleh dan tidak. Itu semua harus jelas,” kata Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar di Jakarta, pekan lalu.
Selama ini industri fintech masih diatur oleh Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Baca Juga: Ini cara aman berutang ke fintech online
Menurut Sukarela, aturan itu belum bisa menindak fintech ilegal yang belum terdaftar di OJK. Padahal, mereka kerap menetapkan bunga tinggi dan melakukan penagihan yang tidak etis ke peminjam.
Akibatnya, kepolisian tidak bisa menindak pelaku fintech ilegal karena secara hukum kurang memadai. Maka itu masyarakat diminta untuk mengajukan pinjaman ke fintech legal, dan bila ingin menyelesaikan sengketa bisa difasilitasi oleh OJK. Jika terkait fintech ilegal, bisa melapor ke Satgas Waspada Investasi.
Untuk mendorong aturan tersebut, tentunya diperlukan kolaborasi berbagai pihak, seperti pemerintah, OJK dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun untuk saat ini UU tersebut baru sekadar wacana.
Baca Juga: Pemain fintech lending menadah kucuran dana dari multifinance
“Hal itu masih dibicarakan, dan juga masih jauh ke sana,” tambah Sukarela.
Sampai Juli 2019, penyaluran pinjaman fintech P2P lending naik 119,69% year to date (ytd) menjadi Rp 49,79 triliun.
Sementara akumulasi outstanding pinjaman per Juli 2019 sebesar Rp 8,73 triliun atau naik 73,11% ytd.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News