Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah pertumbuhan kredit yang lesu, perbankan masih rajin menempatkan dana di surat-surat berharga. Ini tercermin dalam aset-aset mereka di surat berharga yang menunjukkan kenaikan.
Seperti diketahui, penyaluran kredit perbankan sepanjang 2024 hanya tumbuh 10,39% secara tahunan (YoY), cenderung stagnan dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang sekitar 10,38% secara tahunan alias year on year (YoY). Di mana, realisasi tersebut juga berada di batas bawah target BI yang tumbuh 10% hingga 12%.
Dalam kondisi tersebut, penempatan beberapa bank di aset surat berharga justru tercatat mengalami kenaikan. Salah satunya, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang memiliki aset surat berharga senilai Rp 371,15 triliun atau naik 18,93% YoY.
Baca Juga: Dana Pensiun BCA Proyeksikan Instrumen SRBI Tetap Diminati Meski Imbal Hasil Turun
Padahal, BCA dianugerahi likuiditas yang longgar dengan LDR hanya sekitar 78,4% di 2024, jauh di bawah industri yang hampir menyentuh 90%. Di sisi lain, pertumbuhan kredit di BCA hanya tercatat tumbuh 13,8% YoY jadi Rp 922 triliun di 2024.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menegaskan, data tersebut menunjukkan bahwa pihaknya tidak produktif dalam menyalurkan kredit. Sebab, kata Jahja, perbankan juga perlu berkontribusi dalam penempatan di surat berharga, utamanya Surat Berharga Negara (SBN).
Memang, jika dirinci, surat berharga yang dimiliki BCA paling banyak merupakan SBN. Di mana, per Desember 2024, nilainya mencapai Rp 122,71 triliun atau naik dari posisi tahun sebelumnya yang senilai Rp 102,73 triliun.
“Jadi artinya kalau kita partisipasi di situ, bukan kita enggak mau kerja, artinya kita tahu pemerintah juga memerlukan funding,” ujar Jahja, belum lama ini.
Oleh karenanya, Jahja mengingatkan bahwa pemerintah dalam menjalankan program tentu memerlukan anggaran yang berasal dari penerbitan surat-surat utang tersebut. Sebab, menurutnya, tidak bisa untuk saat ini hanya mengandalkan dari investor asing saja.
“Apalagi kalau kita lihat portofolio dari government bond itu dulunya 38% dari asing, sekarang hanya 14%. Artinya apa? Pemain lokal harus siap membantu dan support perkembangan atau kebutuhan APBN kita,” jelasnya.
Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) juga tercatat mengalami kenaikan untuk aset-aset surat berharga yang dimiliki. Per Desember 2024, aset surat berharga yang dimiliki BNI tumbuh sekitar 9,78% YoY menjadi Rp 180,61 triliun.
Baca Juga: Kendati Bunganya Terus Turun, Minat Perbankan Terhadap Instrumen SRBI Tetap Tinggi
Secara rinci, aset surat berharga tersebut didominasi oleh SBN yang mencapai Rp 132,07 triliun, namun hanya tumbuh 3,9% YoY. Sementara, aset surat berharga lainnya hanya senilai Rp 48,53 triliun tetapi pertumbuhannya mencapai 29,7% YoY.
Direktur Utama BNI Royke Tumilaar tak menyangkal bahwa memang ada pertumbuhan aset surat berharga yang dimiliki. Namun, ia mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit.
Memang, tak seperti BCA, pertumbuhan kredit di BNI lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan aset surat berharganya. Per Desember 2024, kredit BNI tumbuh menjadi 11,6% dari periode sama tahun sebelumnya menjadi Rp 775,87 triliun.
Royke menjelaskan kenaikan surat berharga merupakan salah satu strategi BNI dalam diversifikasi aset ke instrumen yang likuid. Dalam hal ini adalah instrumen pemerintah.
Baca Juga: SRBI dan SBN Jadi Pesaing Perbankan Memburu Likuiditas
Dalam pengelolaan surat berharga di 2025, ia bilang pihaknya tetap akan mengoptimalkan portofolio yang ada untuk kebutuhan likuiditas dan optimalisasi yield.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa BNI akan tetap fokus untuk tumbuh di asset pinjaman. Sehingga dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas yang ada, sebagian instrumen surat berharga yang dipilih bank adalah jangka pendek yang sangat likuid.
“Pada saat dibutuhkan likuiditas maka surat berharga tersebut dapat menjadi opsi untuk pemenuhan likuiditas,” ujarnya.
Direktur Utama PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan menambahkan bahwa dalam mengelola likuiditas yang ada, pihaknya selalu menerapkan efisiensi. Di mana, ia melihat likuiditas di internal masih tergolong cukup bank.
“Loan to deposit ratio (LDR) kami baik, di kisaran 86% hingga 88%,” ujarnya singkat.
Selanjutnya: Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (28/1): Cerah Berawan hingga Hujan Ringan
Menarik Dibaca: Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (28/1): Cerah Berawan hingga Hujan Ringan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News