kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Private Equity biakan modal di pasar lokal


Rabu, 27 Februari 2013 / 19:19 WIB
Private Equity biakan modal di pasar lokal
ILUSTRASI. Shin Min A,?salah satu aktris drama Korea yang dijuluki ratu romcom yang juga dijuluki sebagai ratu bucin.


Reporter: Dian Pitaloka Saraswati | Editor: Imanuel Alexander

JAKARTA. Tuntas sudah penantian Ernist P. Tamba, Direktur PT Danareksa Capital, sejak tahun lalu. Pada awal 2013 ini, perusahaan private equity (PE) lini baru PT Danareksa (Persero) ini sukses merampungkan proses akuisisi PT ASA Foodenesia Abadi (ASA Foods). Demi mencaplok produsen roti dan kue yang terafi-liasi dengan PT Dailybread Indonesia itu, Danareksa Capital menggandeng Mitsui Global Investment.

Meski enggan menyebutkan nilai investasinya, Ernist optimistis mampu memberikan nilai tambah bagi ASA Foods pasca akuisisi. Danareksa Capital tidak sekadar membeli perusahaan lalu menjual lagi, tapi juga akan berusaha meningkatkan nilai perusahaan secara cepat.

Nah, Mitsui akan memberikan technical assistance agar usaha itu bisa berkembang, termasuk perihal menu roti dan jalur distribusi. Ernist mengklaim tidak mudah merealisasikan keinginan membenamkan modal di perusahaan bakery untuk kelas menengah atas itu. “Kami bersaing dengan beberapa PE dan investor lain,” katanya kepada KONTAN, Rabu lalu (20/2).

Boleh dibilang, kesuksesan Danareksa Capital mendekap ASA Foods merupakan sebuah prestasi lantaran PE ini baru berdiri dua tahun lalu. Kehadirannya kian menyemarakkan
ranah PE di Indonesia dalam tiga tahun hingga empat tahun terakhir ini. Beberapa perusahaan pembiak modal yang lebih dulu malang melintang adalah Saratoga Investama Sedaya milik Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya, Ancora Capital, Northstar Pacific Group, dan Quvat Management.

Perusahaan-perusahaan itu didirikan oleh para pengusaha lokal. Ada juga yang bermitra dengan bankir investasi asing. Satu per satu raksasa PE global mulai masuk ke Indonesia, baik melalui pembukaan kantor cabang atau langsung mencaplok perusahaan lokal di negara ini.

Temasek Holdings, perusahaan investasi milik Pemerintah Singapura, misalnya, membeli 26,1% saham PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) senilai Rp 2,9 triliun pada awal tahun ini. Sebelumnya, CVC Capital Partners, raksasa private equity asal Eropa, mengakuisisi PT Matahari Department Store.

Sedangkan Carlyle Group baru menuntaskan akuisisi pertamanya di Indonesia dan Asia Tenggara, yakni operator menara telekomunikasi PT Solusi Tunas Pratama sekitar US$ 150 juta pada awal tahun ini.

Di mata private equity global, Indonesia memiliki daya tarik yang lebih kuat dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Eropa yang tengah ditimpa krisis global. Ernist bilang, Indonesia menjanjikan banyak lahan berinvestasi karena pertumbuhan ekonominya tinggi, kelas menengah kian besar, dan jumlah penduduk juga banyak.

Alhasil, potensi sektor konsumsi sangat besar. Belum lagi, kekayaan alam yang melimpah. Berdasarkan hasil survei Ernst & Young terhadap pelaku PE dan investor global, tahun ini Indonesia menjadi negara favorit kedua tujuan investasi di Asia Tenggara, setelah Singapura.

Luke Pais, Partner of Transaction Advisory Services Ernst & Young, memperkirakan nilai transaksi PE di Indonesia sepanjang 2011 saja mencapai Rp 1,4 triliun.

Sektor-sektor potensial Tentu saja para pemain lokal tak ingin melewatkan potensi besar di kampung sendiri. Abiprayadi Riyanto, Presiden Direktur PT Mandiri Sekuritas,
juga melihat peluang PE di Tanah Air masih besar. “Sebagai perbandingan, di China ada 3.000 lebih PE, masa di Indonesia yang juga berkembang pesat hanya ada 10 PE yang namanya sering terdengar?” katanya.

Karena itu, Mandiri Sekuritas juga tertarik mengikuti jejak Danareksa mendirikan perusahaan private equity. Sayangnya, Abiprayadi belum mau mengungkapkan detail rencana untuk mewujudkan ketertarikan itu. Dia merasa perlu menyiapkan sumber daya dan struktur yang bagus.

Maklum, meski banyak PE yang sukses menangguk keuntungan dari pembiakan modalnya, banyak juga yang gagal. “Namanya investasi tidak ada taruhan yang pasti karena ada risiko di dalamnya,” ujar Abiprayadi. Risiko kegagalannya besar lantaran membutuhkan modal besar dan jangka waktu investasi yang panjang.

Agar bisa mencetak cuan di masa depan, PE memang harus pintar-pintar memilih target yang mau dibeli. Saratoga misalnya, sejak awal 2013 ini tengah membidik satu atau dua perusahaan di sektor consumer goods. Seperti dikutip Bloomberg, Pendiri Saratoga, Edwin Soeryadjaya, telah menyiapkan dana US$ 480 juta untuk merealisasikan rencana itu.

Sebelumnya, PE yang sudah berdiri sejak tahun 1998 ini membiakkan modal di perusahaan batubara PT Adaro Energy Tbk dan perusahaan menara telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk. Tahun ini, selain consumer goods, Saratoga juga menyasar ke beberapa proyek infrastruktur dan perkebunan sawit. Mereka juga berencana menjual saham ke publik dan tercatat di bursa saham (IPO). “Saya belum bisa menjelaskan rencana itu,” kata Sandiaga Uno, pendiri Saratoga, kepada KONTAN, Rabu lalu (20/2).

Danareksa Capital juga memiliki daftar sektor usaha incaran yang sama dengan Saratoga. “Asalkan prospeknya bisnisnya baik serta memiliki pertumbuhan bisnis yang tinggi, pasti kami tertarik,” kata Ernist. Beberapa proyek investasinya antara lain pembangkit listrik, pertambangan, dan perkebunan.

Selama ini sumber pendanaan investasinya masih dari internal dengan mengandalkan modal dasar Rp 400 miliar. Nah, mulai tahun ini, Danareksa Capital berencana menggalang dana dari investor domestik dan asing layaknya perusahaan PE lain. Target investor potensial diperoleh dari data klien PT Danareksa Sekuritas.

Invetasi sudah mahal

Lantaran menginduk ke Danareksa yang notabene perusahaan milik negara (BUMN), Danareksa Capital juga kerap menerima proposal penawaran suntikan modal dari perusahaan
di dalam negeri. “Rata-rata meminta menyuntikkan modal langsung lewat kepemilikan saham,” katanya. Tapi, Ernist tak akan langsung mengangguk setuju karena melihat dulu potensi bisnis, return of investment, risiko dan kemungkinan jalan keluar untuk merealisasikan keuntungan investasi itu.

Para pengelola PE memang mulai hati-hati. Veronica Lukito, Chief Executive Offi cer Ancora International, melihat harga investasi di Indonesia sudah terlalu tinggi. “Dana sudah over supply,” katanya. Alhasil, potensi return yang ditangguk bakal menciut. Toh, Ancora tetap mencari target investasi baru pada beberapa sektor usaha yang prospektif tahun ini.

Di lain pihak, Ernist memandang PE lokal kalah gesit bersaing dengan PE asing yang memang sudah lebih dulu masuk Indonesia sejak awal tahun 2000-an silam. PE asing justru sudah hafal dan paham bisnis ini, sehingga saat ini telah menikmati hasil investasi mereka.

Kelincahan PE lokal juga terkendala oleh sumber dana. Harap maklum, para pemilik dana di dalam negeri masih sangat berhati-hati menyemaikan modalnya melalui kanal baru investasi ini. Maklum, mereka harus memarkir dana investasi dalam jangka panjang, dan tidak bisa ditarik sewaktu-waktu seperti halnya ketika membeli saham IPO. “Sekadar gambaran, reksadana penyertaan terbatas (RDPT) saja sulit meraih investor karena karakter investor yang dicari adalah sophisticated alias paham betul dengan
risiko dan return yang tinggi,” pungkas Ernist.

PE lokal harus bergegas agar tak cuma bisa gigit jari.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 22 - XVII, 2012 Private Equity

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×