Reporter: Nadya Zahira | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih terus berlangsung hingga saat ini. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), jumlah pekerja terkena PHK hingga Oktober 2024 sebanyak 59.796 orang. Angkanya tumbuh 25.000 orang pekerja dalam tiga bulan terakhir.
Kenaikan jumlah PHK tersebut akan berdampak pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan karena pencarian manfaat mengalami kenaikan.
Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun menyebutkan menyebutkan, hingga September 2024, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sekitar 40.000 lebih pekerja terkena PHK dengan total nominal mencapai Rp 289,96 miliar. Angka ini meningkat 14% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.
“Hingga September 2024, untuk penerima manfaat JKP meningkat 14% atau sebanyak 23.545 pekerja lebih banyak dibandingkan September 2023," kata Oni kepada Kontan.co.id, Kamis (14/11).
Baca Juga: Terancam Defisit Rp 20 Triliun, BPJS Kesehatan Berharap Tarif Iuran Dievaluasi
Oni menyebutkan, klaim JKP terus meningkat rata-rata sebesar 5% secara bulanan. Hal ini terjadi seiring dengan terus meningkatnya jumlah PHK di Indonesia. Kendati begitu, dia menegaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan selalu berkomitmen untuk membayar klaim tersebut.
Dia mengatakan, meski PHK masih marak terjadi, BPJS Ketenagakerjaan terus melakukan sejumlah upaya untuk mengantisipasi agar dana tetap cukup di saat klaim JKP sedang naik signifikan. Sejumlah upaya ini antara lain berkomitmen secara profesional dengan kehati-hatian dan sesuai aturan yang berlaku untuk mengelola dana dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian secara global ataupun nasional, yang mengalami volatilitas luar biasa.
"Terlebih dengan kondisi perekonomian global dan nasional yang penuh dengan ketidakpastian, kami juga berkomitmen untuk mengelola dana dengan prinsip liability driven, yang artinya BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya mencari return, tapi kami juga memastikan bahwa klaim dari peserta bisa kami bayarkan," ungkapnya.
Lebih lanjut, dia menyebutkan hingga 30 September 2024, total dana kelolaan program JKP mencapai Rp 14,05 triliun. Angka ini naik sebesar 36,78% secara year on year (YoY). Oni menyebutkan, dana tersebut diinvestasikan dalam beberapa instrumen yaitu, deposito dengan porsi 8,74%, obligasi 78,53%, saham 6,98%, dan reksadana sebanyak 5,74%.
Baca Juga: PHK Melonjak Capai 59.796 Orang , Klaim JKP pun Melonjak 14% per Oktober 2024
Untuk mekanismenya, Oni menerangkan bahwa manfaat bagi peserta yang telah terdaftar pada program JKP dan telah memenuhi persyaratan, maka ketika menghadapi PHK dapat memperoleh manfaat berupa uang tunai, manfaat akses informasi pasar kerja, dan manfaat pelatihan kerja.
Dia menuturkan melalui perlindungan jaminan sosial tersebut, diharapkan para pekerja di Indonesia bisa Kerja Keras Bebas Cemas, karena seluruh risiko kerjanya telah ditanggung BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, dana para pekerja dipastikan aman dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan para pekerja.
Lebih lanjut, Oni memprediksi, hingga tahun 2025, gelombang PHK kemungkinan masih akan terus berlanjut, maka dari itu pihaknya menyiapkan strategi yang antisipatif dalam mengelola portofolio investasi dengan memperhatikan kondisi likuiditas, solvabilitas, optimasi hasil investasi, dan prinsip kehati-hatian.
Baca Juga: Bobot Indonesia di Indeks MSCI Turun, Itu yang Bikin Asing Masif Jual Saham Bank
Besaran Uang Tunai dari Manfaat JKP
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pekerja yang terkena PHK akan mendapatkan manfaat uang tunai setiap bulan maksimal selama enam bulan.
Namun, manfaat uang tunai tersebut akan diterima setelah verifikasi oleh BPJS Ketenagakerjaan dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai penerima manfaat JKP.
Berdasarkan informasi resmi, manfaat uang tunai JKP BPJS Ketenagakerjaan yang akan diterima oleh pekerja yang terkena PHK adalah sebesar 45% dari upah sebelumnya untuk 3 bulan pertama. Kemudian, 25% untuk 3 bulan selanjutnya. Adapun upah yang digunakan merupakan upah terakhir yang dilaporkan, dengan batas upah maksimal Rp 5 juta.
Sementara itu, terkait dengan akses informasi kerja, nantinya BPJS Ketenagakerjaan akan memberikan dalam bentuk layanan informasi pasar kerja atau bimbingan jabatan dalam bentuk penilaian diri dan konseling karir.
"Sedangkan untuk pelatihan kerja, akan diberikan berbasis kompetensi kerja yang dilakukan melalui lembaga pelatihan kerja milik pemerintah, swasta, atau perusahaan, yang bisa diselenggarakan secara daring, luring, atau hybrid," kata Oni.
Baca Juga: Ombudsman RI: Perlindungan BPJS Ketenagakerjaan Sangat Penting
Apakah Manfaat Uang Tunai JKP Rp 5 Juta Cukup?
Perencana Keuangan Mike Rini mengatakan bahwa untuk program JKP, pekerja yang terkena PHK akan mendapatkan manfaat uang tunai 45% dari upah terakhir (maksimal Rp 5 juta) selama 3 bulan dan 25% untuk 3 bulan selanjutnya.
Dengan begitu, dia menilai bahwa jumlah Rp 5 juta tersebut masih cukup membantu para pekerja yang terkena PHK. Namun, terkait apakah Rp 5 juta selama 6 bulan itu cukup di masa sekarang, menurutnya tergantung dari beberapa faktor salah satunya seperti domisili.
Jika di kota besar seperti Jakarta, Mike menilai Rp 5 juta selama 6 bulan kemungkinan besar kurang mencukupi. Sedangkan di kota-kota kecil relatif cukup. Selain itu, juga tergantung dari tanggungan keluarga, di mana bagi yang memiliki tanggungan besar, maka jumlah tersebut kurang memadai.
"Lalu selanjutnya tergantung juga dari gaya hidup dan kebutuhan (pengeluaran) tiap orang yang berbeda-beda. Kondisi ekonomi saat ini dengan inflasi dan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, nilai riil dari Rp 5 juta mungkin tidak sebesar saat program pertama kali di rancang,” kata Mike kepada Kontan.co.id, Rabu (13/11).
Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan Dukung Perlindungan Pekerja Sektor Jasa Konstruksi
Dengan demikian, menurut Mike meskipun manfaat ini sudah cukup membantu sebagai jaringan pengaman sementara, ada beberapa alasan mengapa manfaat tersebut mungkin perlu ditingkatkan.
Misalnya, nilai nominal perlu disesuaikan dengan inflasi secara berkala, memperpanjang durasi manfaat dari 6 bulan ke 12 bulan, serta meningkatkan persentase upah terakhir yang menjadi dasar pemberian manfaat.
“Tapi harus diingat ya, peningkatan manfaat harus diimbangi dengan perhitungan aktuaria yang tepat untuk menjaga keberlangsungan program dalam jangka panjang,” imbuhnya.
Yang tak kalah penting, dia menilai bahwa program JKP harus diperkuat dengan program pendukung, seperti pelatihan keterampilan dan bantuan pencarian kerja
Baca Juga: Per September, BPJS Ketenagakerjaan Bayar 2,3 Juta Klaim JHT senilai Rp 35,6 Triliun
Selaras dengan hal ini, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, saat ini manfaat JKP yang diatur di PP No.37 tahun 2021 masih sangat layak, namun seyogyanya harus direvisi dengan menaikkan manfaat bantuan tunai menjadi setidaknya 45% dari upah (maksimal 5 juta) selama enam bulan.
"Apalagi semakin banyak yang ter PHK, maka klaim rasio JKP akan makin meningkat sehingga berdampak pada ketahanan dana," kata Timboel kepada Kontan.co.id, Kamis (14/11).
Kendati begitu, Timboel mengatakan bahwa sejauh ini BPJS Ketenagakerjaan masih konsisten dalam membayarkan klaim JKP, mengingat rasio klaimnya juga belum terlalu tinggi. Ia menyebutkan hingga saat ini rasio klaim JKP tersebut mencapai sekitar 6%.
"Jadi rasio klaim JKP ini setahu saya masih aman ya di bawah 10%, jadi tidak perlu ada yang dikhawatirkan dengan kenaikan klaim itu. Karena dana iuran dari peserta BPJS Ketenagakerjaan juga masih cukup kuat," ungkapnya.
Untuk itu, Timboel berharap, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berusaha untuk menekan angka PHK dengan memberikan insentif fiskal dan segera merevisi kebijakannya, sehingga industri nasional bisa bangkit dan kinerjanya bisa tumbuh lebih baik.
“Ditambah, selama ini kebijakan impor barang (tekstil, sepatu, dan sebagainya) menjadi ancaman bagi industri nasional," tandasnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News