Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) masih tumbuh positif. Hal ini tercermin dari posisi penyaluran kredit yang mencapai Rp 92,97 triliun atau tumbuh 9,16% secara tahunan atau year on year (yoy).
Selain itu, total penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih tinggi sebesar 11,7% secara yoy dari Rp 77,76 triliun per April 2017 menjadi Rp 86,86 triliun per April tahun ini.
Kendati demikian, rasio kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) BPR masih terbilang tinggi yaitu sebesar 6,96% per April 2018. Jumlah tersebut praktis tak bergerak banyak dibandingkan posisi April 2017 sebesar 6,98%.
Malah, bila dibandingkan dengan akhir 2017 yang di posisi 6,15, rasio kredit macet terlihat menanjak.
Namun, melihat hal tersebut, Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto menilai kondisi ini masih terbilang aman.
Pasalnya, posisi tersebut tidak mencerminkan kondisi BPR dari masing-masing alias hanya secara industri. Joko mencontohkan, PT BPR Eka Bumi Artha sebagai BPR dengan aset tertinggi mencapai Rp 7 triliun memiliki rasio NPL atau kredit macet cukup rendah yakni di bawah 1%.
"Jadi itu bukan tiap BPR NPL-nya 6,96%. Karena pada praktiknya, ada BPR yang NPL-nya tinggi tapi ada juga yang sangat rendah, jumlah BPR sendiri ada 1.360 lebih," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (26/6).
Adapun, pada tahun ini Perbarindo menarget posisi rasio NPL BPR dapat ditekan di level 4% sampai 5%. Pun, pihaknya optimistis, target tersebut dapat tercapai.
Menurut Joko, NPL BPR bakal mengalami penurunan pada Semester II 2018. Adapun, penyebab masih tingginya NPL BPR menurutnya dikarenakan masyarakat masih cenderung melakukan perilaku konsumtif terutama pada periode libur hari raya.
Artinya, kemampuan bayar nasabah dinilai menurun pada periode-periode tertentu. "Angka NPL saat ini masih aman, tapi kalau efisiensinya memang kurang. Idealnya, NPL harus di bawah 5%," tambah Joko.
Selain dari sisi NPL, Perbarindo menilai laju kredit BPR masih bisa tumbuh sampai akhir tahun 2018. Pihaknya memproyeksi kredit BPR secara industri masih akan tumbuh sebesar 10% sampai 12% pada akhir tahun 2018.
Hal ini ditandai dari loan to deposit ratio (LDR) BPR yang masih cukup longgar yakni di posisi 76,4% per April 2018. Menurun bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 77,65%.
"LDR longgar itu artinya ceruk likuiditas BPR masih sangat baik. Artinya masih ada kemampuan BPR untuk melakukan penetrasi pelemparan kredit yang lebih tinggi," katanya.
Untuk mendorong pertumbuhan, pihak Perbarindo juga sudah menjalin kerjasama dengan beberapa bank umum. Utamanya, melalui kerjasama ini BPR dan Bank Umum dapat saling menjembatani bisnis satu sama lain terutama untuk penyaluran kredit dan penghimpunan dana masyarakat.
Sebagai tambahan informasi, kinerja return on asset (ROA) BPR sampai dengan akhir April 2018 cenderung mengalami perlambatan dari 2,64% di tahun sebelumnya menjadi 2,59%. Hal ini dikarenakan laba berjalan BPR tercatat belum bergerak dari posisi tahun April 2017 yakni di sebesar Rp 1,33 triliun. Selain ROA, return on equity (ROE) pun ikut mengalami penurunan dari 23,35% menjadi 22,97% per April 2018.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News