Reporter: Nurul Kolbi, Roy Franedya | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) sudah menegaskan sikapnya: tidak mewajibkan kantor cabang bank asing (KCBA) berbadan hukum Indonesia. Namun, bukan berarti polemik masalah ini langsung reda. Sejumlah kalangan mengingatkan, kebijakan tersebut bisa dianulir jika Undang Undang Perbankan yang baru menghapuskan pasal soal KCBA.
Draf RUU perbankan yang diperoleh KONTAN menyebutkan, KCBA wajib berbadan hukum Indonesia alias berbentuk perseroan terbatas (PT). Jadi, jika pasal ini disetujui, peraturan BI soal KCBA harus diubah kembali. "UU kan derajatnya paling tinggi. Kalau UU mengatakan KCBA wajib berbentuk PT, ya, BI harus merevisi lagi beleidnya," kata Achsanul Qosasi, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.
Karena pembahasan RUU perbankan belum selesai, Achsanul memahami ketidakberanian BI mewajibkan KCBA berbadan hukum Indonesia. UU yang ada saat ini memang membolehkan KCBA mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya atau cabang.
Jika BI membuat peraturan yang berbeda dengan UU di atasnya, bisa dipersoalkan. "Di sinilah pentingnya revisi UU Perbankan," kata politisi Partai Demokrat itu.
Andaikan pembahasan RUU rampung setelah hak pengawasan perbankan pindah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lembaga baru ini yang akan mengubah melalui harmonisasi aturan.
Pakar hukum perbankan, Pradjoto, mengatakan pengaturan KCBA menjadi PT tidak mungkin jalan tanpa merevisi UU Perbankan terlebih dulu. "Induk aturan perbankan terletak di situ. Jadi, perubahan UU yang mengatur kedudukan dan status KCBA harus dirumuskan di dalam UU," ujarnya, Senin (5/11).
Menurut Pradjoto mengubah UU tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang. Penyusun dan pembahasnya juga harus hati-hati. Sebab, salah merumuskan akan memberikan dampak negatif bagi masa mendatang. "Idealnya, UU hanya mengatur hal-hal pokok sedangkan ketentuan lebih lanjut diatur BI sesuai dengan perkembangan yang akan terjadi," katanya.
Guru Besar Hukum Perbankan Universitas Airlangga, Sutan Remi Syahdeni, mempunyai pandangan berbeda. Menurutnya, di UU Perbankan tidak ada kata yang melarang pembentukan PT, sehingga kebijakan ini bisa langsung dijalankan. "Intinya , masa transisi dan jangan dipaksakan langsung," ujarnya.
Menurut Remi, sudah seharusnya bank asing di Indonesia berbentuk PT dan tunduk pada aturan negeri ini, bukan berbentuk cabang yang tunduk pada aturan di kantor pusat. Sebab, bila terjadi sengketa, masalah tersebut mudah dibawa ke kancah internasional dan bisa saja hasil akhirnya merugikan Indonesia.
Jalan tengah
Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, sebelumnya mengatakan regulator tidak akan memaksa KCBA menjadi PT. Namun, konsekuensinya, KCBA tidak memiliki keleluasaan seperti bank berbadan hukum Indonesia. "Bank berbentuk PT lebih leluasa dalam berbagai prinsip dan konteks kebijakan penataan perbankan. Kami serahkan semuanya pada mereka," jelas Halim.
BI menyadari status KCBA membuat bank asing yang beroperasi di sini terpapar langsung risiko di kantor pusat. Jadi, ketika kantor pusat bermasalah, efeknya terasa ke Indonesia dan berpotensi menggangu perekonomian. "Tapi mewajibkan mereka menjadi PT juga tidak mudah karena BI bisa dianggap tidak patuh pada UU," kata Difi A Johansyah, juru bicara BI.
Sebagai jalan tengah, BI akan mewajibkan KCBA membentuk capital equivalent maintenance asset (CEMA) atau sejumlah aset yang berfungsi sebagai modal. Aset ini harus berada di Indonesia. Inilah cara BI memagari KCBA. "Misalkan cabang mau membantu keuangan kantor pusat, harus dilihat dulu CEMA nya. Jika masih di bawah ketentuan, ya tidak bisa," kata Difi.
Informasi yang beredar dikalangan bankir, besaran modal yang harus disetor sebesar Rp 3 triliun. Jika gagal memenuhi ketentuan ini, KCBA tidak bisa transfer laba ke pusat. Aturan ini juga meningkatkan komitmen pemegang saham untuk selalu menyuntikkan modal sesuai dengan besaran yang ditetapkan.
Ketua Bidang Kebijakan Perbanas, Raden Pardede, mengatakan bank asing di Indonesia seharusnya berbadan hukum RI dan membawa modal antara Rp 5 triliun - Rp 10 triliun. Tujuannya, agar bank asing memiliki kontribusi nyata bagi perekenomian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News