Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat kembali melemah hari ini, Jumat (14/8). Kurs tengah Bank Indonesia mencatat, nilai tukar rupiah menembus angka 13.763 per dollar AS. Angka ini melemah 16 poin atau setara dengan 0,11% dibandingkan kurs tengah BI pada Kamis (13/8) kemarin yang tercatat berada di level 13.747 per dollar AS.
Pelemahan rupiah yang terus berlangsung sejak awal tahun 2015 ini, tentu mempengaruhi bisnis perbankan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Erwin Riyanto menuturkan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan tercermin pada peningkatan rasio kredit bermasalah atawa non performing loan (NPL) kredit valas industri perbankan.
"Pelemahan rupiah terhadap dollar AS tercermin dari NPL secara industri perbankan. Kalau dilihat sekarang, memang benar NPL mengalami peningkatan," ucap Erwin di Jakarta, Jumat (14/8).
Erwin menilai, peningkatan NPL yang terjadi pada semester II-2015 ini masih jauh di bawah ambang batas atau threshold yang ditentukan yaitu 5%. Hal ini, menunjukkan bahwa kondisi pelemahan rupiah, pelemahan ekonomi dan juga pelemahan pertumbuhan kredit yang terjadi saat ini, tidak mencerminkan kondisi krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997-1998 lalu.
Menurutnya, industri perbankan tanah air telah banyak belajar dari pengalaman krisis sebelumnya, dimana saat ini, perbankan dalam menyalurkan kredit valuta asing dan juga melakukan pinjaman luar negeri, terlebih dahulu menerapkan prinsip kehati-hatian.
Erwin bilang, industri perbankan dalam memberikan pinjaman valasnya lebih mengutamakan pada korporasi yang memiliki pendapatan dalam bentuk valas.
Dengan begitu, terjadi mitigasi atau pencegahan risiko adanya mismatch antara belanja dengan valuta asing dan pendapatan berdenominasi rupiah.
"Hal ini menunjukkan bahwa bank sudah belajar banyak, sehingga pinjaman valas lebih banyak disalurkan oleh bank kepada debitur-debitur yang memiliki pendapatan valas. Kalaupun misalnya pendapatan perusahaan bukan valas, maka bank-bank akan melakukan forex exposure dengan melakukan hedging (lindung nilai)," jelasnya.
Oleh karena itu, kondisi peningkatan NPL perbankan yang terjadi saat ini, masih terbilang cukup terkendali. Hal ini, juga terlihat dari hasil uji ketahanan (stress test) yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama sejumlah bank.
Hasil uji itu menyebutkan, daya tahan perbankan Indonesia masih baik dalam menghadapi gejolak nilai tukar, bahkan hingga rupiah di level Rp 14.000 per dollar AS.
Dalam menyalurkan dan melakukan pinjaman luar negeri pun, kata Erwin, perbankan nasional harus terlebih dahulu memiliki kriteria rating setidaknya di level triple B (BBB). Hal itu, jelasnya, termasuk salah satu cara untuk memitigasi risiko yang dimiliki oleh BI terhadap industri perbankan.
"Pinjaman luar negeri dari bank, harus minta izin dari Bank Indonesia. Kami di BI melakukan analisis yang salah satunya adalah analisis mengenai prospek dari debitur. Kalau debitur mendapat penerimaan dengan denominasi rupiah, maka Bank Indonesia meminta kepada bank sebagai pemberi kredit berupa mitigasi risiko,” katanya.
Sebagian besar debitur peminjam luar negeri adalah perusahaan yang membutuhkan pembiayaan yang terkait valas. Kalau toh pemasukan rupiah, lanjut Erwin, maka akan diberikan kepada perusahaan yang misalnya melakukan transaksi importasi akan ada tambahan-tambahan prudential regulation berupa keharusan hedging.
Yang menjadi fokus perhatian BI saat ini adalah NPL net dan bukan NPL gross. Karena itu, industri perbankan meski banyak yang mengalami kenaikan NPL secara gross, namun sepanjang menyediakan peningkatan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), maka hal tersebut tidak akan menjadi masalah.
"Bisnis ada saatnya maju dan ada saatnya mundur. Tapi kalau NPL masih di bawah 5%, sebenarnya laba yang di generik jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan yang harus dibentuk," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News