Reporter: Dea Chadiza Syafina, Nina Dwiantika | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memantau perkembangan kondisi perbankan Tanah Air dalam menghadapi gejolak pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar AS.
Nelson Tampubolon, Dewan Komisioner OJK Bidang Perbankan mengatakan, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan 16 bank untuk meminta kepastian kondisi keuangan mereka.
Nelson bilang, perbankan yang diwakili 16 bank mengaku pelemahan nilai tukar belum mempengaruhi bisnis keuangan bank karena posisi devisa neto (PDN) perbankan relatif cukup rendah, yakni per Januari sebesar 1,68% dari batas ketentuan PDN sebesar 20%. Namun, OJK tetap meminta perbankan untuk terus memantau perkembangan nilai tukar rupiah.
"Setiap bank sepakat untuk tetap perlu waspada kalau pelemahan ini terus berlanjut," kata Nelson, Jumat (12/3).
OJK sebelumnya telah melakukan uji ketahanan atau stress test perbankan terhadap gejolak pelemahan nilai tukar. Hasil terburuk, ada lima bank yang akan tergerus rasio kecukupan modal atau capital adequacy (CAR) mereka jika rupiah melemah hingga Rp 15.000 per dollar AS.
Irwan Lubis, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan OJK, Irwan Lubis menjelaskan, perbankan yang memiliki modal profil risiko di level 12%-13%, berpotensi terkena imbas jika depresiasi rupiah mencapai Rp 15.000 per dollar AS.
Meski begitu, kata dia, bank yang akan terkena dampak tersebut hanya bank-bank kecil.
Rasio permodalan bank-bank kecil tersebut terkena imbas akibat second round effect. Second round effect, terjadi akibat imbas dari depresiasi rupiah yang membuat dampak terhadap peningkatan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank-bank tersebut. Hal ini dapat menimpa CAR perbankan meski tidak berpraktek sebagai bank devisa.
Irwan merinci, terdapat dua tipikal risiko yang dapat menimpa perbankan atas pelemahan rupiah jika menyentuh angka Rp 15.000. Pertama adalah risiko first round effect yang melalui risiko pasar. Artinya, jika perbankan memiliki exposure valas besar yang sifatnya jangka pendek, maka laba-rugi perbankan dapat terkena dampak akibat pelemahan rupiah hingga ke level Rp 15.000.
Kedua, adalah risiko second round effect yaitu melalui NPL. Hal ini bisa menimpa bank yang menyalurkan kredit kepada debitur yang usahanya bersentuhan dengan komponen-komponen impor atau juga penggunaan valas. Nah, jika kondisi debitur terganggu akibat nilai tukar rupiah yang terdepresiasi, maka bisa berakibat pada kelancaran pembayaran kredit.
"Akibatnya, pembentukan cadangan kerugian di perbankan semakin besar yang artinya berpengaruh terhadap laba-rugi perbankan, selanjutnya berimbas pada modal. Nanti akan terkena kepada profil risiko bank," jelas Irwan.
Roy A. Arfandy, Direktur Utama Bank Permata menuturkan, pelemahan nilai tukar memang mempengaruhi bisnis bank seperti penyaluran kredit valas. Namun, bank pasti sudah akan mengantisipasi sejak awal seperti tidak memberikan kredit valas kepada pengusaha yang berpendapatan rupiah, karena itu akan sangat berisiko.
"Jika ingin memberikan kredit valas maka perlu memastikan pendapatan debitur itu adalah valas," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News