Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memberantas fintech peer to peer lending ilegal menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi Satuan Tugas Waspada Investasi. Pasalnya, fintech ilegal terus bertambah meski sudah banyak yang ditutup.
Satgas Waspda Investasi telah memblokir 635 fintech ilegal sepanjang tahun 2018-2019. Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengatakan, fintech tersebut bukan hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga China, Rusia, Korea, Amerika, Kanada dan Singapura.
Tongam mengatakan tidak mudah membasmi fintech ilegal dari luar negeri, karena mereka bekerja secara virtual. Selain itu, fintech ilegal kerap beroperasi kembali dengan nama berbeda meski telah diblokir.
“Setelah diblokir, mereka buat baru dengan nama lain. Bahkan ada yang menggunakan nama yang mirip dengan fintech terdaftar di OJK, dengan membedakan dari segi spasi,” kata Togam kepada Kontan.co.id, Kamis (21/2).
Di samping itu, jaringan server fintech tersebut berada di luar negeri sehingga menyulitkan untuk melakukan pelacakan dan pemantauan. Padahal, seharusnya perusahan fintech mempunyai pusat data di Indonesia dan nantinya dikendalikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Hal tersebut diamini oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang kesulitan melacak 36 fintech ilegal yang memiliki jaringan server di luar negeri.
Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Ryckynaldo Chairul mengatakan, bahwa fintech tersebut meng-hosting atau menampung data ke 107 jaringan server yang berlokasi di lima negara. Bahkan, ada satu fintech yang menapung datanya sampai ke sembilan server di tiga negara.
“Bayangkan, kalau satu atau dua fintech bermasalah dan melakukan berbagai tindakan pelanggaran, tentu kami kesulitan melacaknya. Karena hostingnya ada di berbagai negara, seperti China, Indonesia, Singapura, Amerika hingga ke Irlandia,” jelas Ricky.
Dengan banyaknya jaringan server tersebut, memungkinkan adanya penyalahgunaan data pribadi. Maka itu, kepolisian tengah berkoordinasi dengan beberapa negara untuk melacak keberadaan server tersebut.
Direktur Jenderal Aptika Kemkominfo Sammy A Pangarepan membenarkan, bahwa fintech ilegal juga berasal dari luar negeri. Pihaknya belum mengecek server fintech dari luar, karena tugasnya hanya melakukan pemblokiran situs dan aplikasi fintech berdasarkan rekomendasi dari Satgas Investasi.
“Kami belum mengecek sampai sana, tapi kami menghimbau kepada masyarakat untuk menggunakan layanan fintech yang sudah terdaftar di OJK. Jika mengetahui fintech yang beroperasi dan tidak terdaftar, segera laporkan ke Kominfo dan OJK,” kata dia.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI) menjelaskan, setiap perusahaan fintech lending yang mau beroperasi secara resmi, wajib mempunyai jaringan server dan pusat data di Indonesia. Wakil Ketua AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan, ketentuan ini wajib dijalankan karena terkait dengan perlindungan dan keamana data nasabah fintech.
“OJK sudah mewanti-wanti akan pentingnya aspek kerahasian data. Kalau data masyarakat bisa sampai ke luar negeri itu berbahaya,” ungkapnya.
Hal ini tertuang dalam pasal 25 Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Aturan ini mewajibakn setiap penyelenggara layanan fintech menggunakan pusat data dan pusat pemulihan bencana yang ditempatkan di Indonesia.
Selain itu, penyelenggara wajib memenuhi standar minimum sistem teknologi informasi, pengelolaan risiko teknologi informasi, ketahanan terhadap gangguan dan kegagalan sistem, serta alih kelola sistem teknologi informasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News