kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.160   40,00   0,25%
  • IDX 7.067   83,03   1,19%
  • KOMPAS100 1.055   14,71   1,41%
  • LQ45 830   12,49   1,53%
  • ISSI 214   1,68   0,79%
  • IDX30 423   6,66   1,60%
  • IDXHIDIV20 509   7,46   1,49%
  • IDX80 120   1,71   1,44%
  • IDXV30 125   0,64   0,52%
  • IDXQ30 141   1,91   1,38%

Strategi satgas waspada investasi tindak fintech ilegal


Rabu, 13 Februari 2019 / 20:08 WIB
Strategi satgas waspada investasi tindak fintech ilegal


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Maraknya layanan fintech lending ilegal telah meresahkan masyarakat. Diantaranya penerapan tingkat suku bunga yang tinggi mengakibatkan peminjam terbebani untuk melunasi kredit.

Platform fintech ilegal memang memberikan kemudahan dan kecepatan proses peminjaman. Namun dari kemudahan itu, mereka tidak segan melakukan penagihan yang tidak beretika, seperti pemaksaan, teror, mengakses data pribadi dan pelecehan seksual.

Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi telah memblokir total 635 penyelenggara layanan pinjaman berbasis teknologi ilegal dari 2018 sampai awal 2019. Diketahui, sepanjang tahun 2018, otoritas telah menghentikan operasi sebanyak 404 entitas.

Maka untuk melindungi konsumen dan masyarakat, Satgas Waspada Investasi tengah mengupayakan berbagai pencegahan dan penanganan, diantaranya dengan mengumumkan platform ilegal ke masyarakat.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing menjelaskan, pihaknya juga mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin kepada Kementertian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Disusul dengan pemutusan akses keuangan fintech ilegal, dengan menghimbau perbankan menolak pembukaan rekening platform tanpa rekomendasi OJK.

“Serta melakukan konfirmasi kepada OJK untuk rekening existing yang diduga digunakan untuk kegiatan fintech ilegal. Kemudian meminta Bank Indonesia untuk melarang fintech payment system memfasilitasi fintech ilegal,” kata Tongam di Jakarta, Rabu (13/2).

Di samping itu, Satgas juga menyampaikan laporan kepada Bareskrim Polri untuk proses penegakan hukum. Solusi terakhir, dengan memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat secara berkelanjutan untuk menggunakan fintech legal.

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan, bahwa permasalahan fintech di luar anggota asosiasi dan tidak terdaftar di OJK, seharusnya bisa diselesaikan melalui Bareskrim atau Cyber Crime.

Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan, asosiasi terus berupaya memitigiasi peredaran pinjaman dari fintech ilegal, di mana asosiasi akan menerapkan sertifikasi lembaga penagihan. “Di dalamnya diatur pelarangan penyalahgunaan data nasabah dan kewajiban pelaporan prosedur penagihan pinjaman,” ungkapnya.

Selain itu, asosiasi juga telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduc (CoC) Fintech. Dengan demikian akan melindungi konsumen, seperti di antaranya, larangan mengakses kontak, dan juga penetapan biaya pinjaman maksimal pinjaman.

Dalam kode etik tersebut, AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8% per hari dengan penagihan maksimal 90 hari. Adapula pengembangan pusat data fintech, untuk memverifikasi peminjam nakal. Jika peminjam tidak melunasi utang dalam 90 hari, maka akan tercatat sebagai peminjam bermasalah.

Startegi lainnya, dengan membuka posko pengaduan layanan pinjaman online yang dapat diakses melalui call center maupun email. “Diharapkan dengan upaya-upaya ini dapat memberikan perlindungan kepada nasabah maupun penyelenggara fintech,”ungkapnya.

Sementara itu, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri terus melacak platfom fintech ilegal yang memiliki jaringan server di luar negeri. Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Rickynaldo Chairul mengatakan tengah memantau 36 fintech yang meng-hosting atau menampung data ke 107 jaringan server yang berlokasi di lima negara. Bahkan, ada satu fintech yang menampung datanya sampai ke sembilan server di tiga negara.

“Bayangkan, kalau satu atau dua fintech bermasalah dan melakukan berbagai tindakan pelanggaran, tentu kami kesulitan melacaknya. Karena hostingnya ada di beberapa negara, seperti China, India, Singapura, Amerika hingga ke Irlandia,” kata Ricky.

Dengan banyaknya jaringan server tersebut, memungkinkan adanya penyalahgunaan data nasabah. Maka itu, kepolisian tengah berkoordinasi dengan beberapa negara untuk melacak keberadaan server tersebut. Seharusnya, menurut dia, setiap perusahaan fintech mempunyai pusat data di Indonesia dan nantinya dikendalikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×