Reporter: Nurul Kolbi | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Pengumuman SBDK, Maret 2011 lalu, membuat Citra Andini sumringah. Karyawati perusahaan ekspedisi ini merasa bakal lebih mudah mencari kredit pemilikan rumah (KPR) dengan bunga termurah. Ketika bank buka-bukaan bunga, semua bank berlomba memberikan harga terbaik, begitu pikirnya.
Citra mengajukan KPR setelah publikasi SBDK berjalan sebulan. Ibu tiga anak ini menghubungi tiga bank: satu bank pelat merah, selebihnya swasta. Ketiganya mematok SBDK paling rendah, antara 8% - 10%.
Setelah berinteraksi dengan bank, mimpi Citra mendapat angsuran KPR ringan langsung sirna. Informasi di website bank jauh dari kenyataan. Prakteknya, bank mengenakan bunga KPR rata-rata 13%. Tapi, bank yang mengumumkan SBDK 9%, memberikan bunga KPR 14%.
Citra bukannya tidak mengerti SBDK. Ia tahu, bunga ini hanya memasukkan biaya dana, overhead cost dan margin bank, belum termasuk premi risiko. Artinya, bunga riil bakal lebih tinggi dari SBDK. Tapi dia tidak mengira selisihnya 4% - 5%.
Hitungan premi risiko juga membingungkan Rif’at. Pengusaha percetakan ini mengajukan kredit ke bank BUMN, karena angka SBDK 12% - 14% untuk kredit ritel. Lebih rendah dari bunga kredit yang ia peroleh selama ini dari bank lain.
Seperti Citra, dia juga takjub dengan penjelasan bank. Rif’at terkena getok bunga 20% per tahun. Bank mengatakan, selisih 7% antara SBDK dengan bunga kredit adalah premi risiko. "Alasan bank, collateral kurang mencukupi dan usaha saya dianggap memiliki potensi gagal tinggi," katanya. Padahal Rif’at bersedia menyerahkan surat perintah kerja (SPK) atau invoice ke bank. Ia juga tak mempersoalkan jika pembayaran ditransfer ke bank tersebut. Awalnya ia menduga "kompromi" tersebut membuat premi risiko lebih rendah.
Bagi Rif\'at, membayar bunga kredit tinggi bukan pengalaman baru. Ia biasa membiayai kegiatan usahanya dari kredit tanpa agunan (KTA). Bunganya 1,5% - 2% per bulan, di luar provisi dan biaya lain-lain. Tapi, melihat cara bank memproses kredit, Rif\'at akhirnya mengambil KTA lagi. "Kita tidak perlu menyerahkan agunan dan prosesnya cepat. Bunganya beda tipis. Tapi, plafon kecil karena maksimal dua kali limit kartu kredit," katanya.
Rif’at menjalankan bisnis percetakan sejak 2009. Omzetnya rata-rata Rp 50 juta per bulan. Untuk modal kerja, ia mengambil KTA di beberapa bank. "Semua pelaku usaha pasti berharap bunga murah karena mempengaruhi harga produk," katanya.
Banyak pihak mengeluhkan matematika ajaib bertajuk premi risiko. Itu sebabnya, BI bakal membuat panduan penentuan premi risiko, sehingga bank mempunyai pemahaman sama dan berdampak baik ke bunga. BI akan memasukkan premi risiko ini ke SBDK.
Sesat pikir ala bankir
Menurut para bankir, besaran premi risiko adalah potret kualitas debitur. Besarannya bervariasi, tergantung apakah dia nasabah korporasi, ritel dan UMKM atau konsumsi
Dalam menilai, bank melihat prospek debitur, pendapatan dan jaminan. Dari sini bank memutuskan seberapa tinggi profil risiko calon debitur dan preminya. Inilah wilayah abu-abu yang kerap dimanfaatkan bank untuk mengetok premi risiko secara tidak adil. Kenyataan menyedihkan ini bisa diakhiri, karena judgment bank soal premi risiko bisa dibantah dan dinegosiasikan.
Ambil contoh KPR. Dalam kasus Citra, bank menetapkan SBDK 10% plus premi risiko 4%. Bank harus menjelaskan bagaimana angka 4% itu terbentuk, sebab pada dasarnya risiko kredit ini rendah.
Ketika mengambil KPR, nasabah terkena biaya asuransi jiwa dan kerugian. Asuransi jiwa mengantisipasi nasabah meninggal di masa angsuran, sementara asuransi kerugian meminimalkan risiko kebakaran yang membuat nilai properti turun. Beberapa bank juga mengenakan asuransi kredit, berjaga-jaga jika kredit macet.
Karena si nasabah dan objek kredit terproteksi, logikanya risiko bank sudah minimal. Selain itu, dokumen kepemilikan rumah juga di tangan bank. Jika gagal bayar, bank tinggal menyita. Apakah premi risiko KPR 4% layak dibilang rendah? Ayo, BI jangan diam saja.
Hal yang sama juga berlaku untuk premi risiko kredit UMKM. Meski agak rumit, bukan berarti tidak bisa diukur secara wajar. Bank menilai risiko debitur UMKM dari jenis usaha. Misal, si pengusaha bergerak di tekstil atau sepatu, mungkin premi risikonya lebih tinggi ketimbang pengusaha bidang makanan. Bank beranggapan, tekstil dan sepatu kurang prospektif karena kalah bersaing dengan produk dari China.
Tapi, nasabah bisa bernegosiasi. Misalnya, memindahkan rekening usahanya ke bank tersebut. Andaikan si nasabah ini bagian dari rantai pasok ke industri, dia bisa meminta semacam rekomendasi dari mitranya itu atau menyerahkan invoice ke bank.
Dalam bernegosiasi, posisi nasabah selalu lebih lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan uang. Tapi, bukan karena itu, bank bersikap seenaknya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News