Reporter: Nadya Zahira | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), hingga Oktober 2024, tercatat 59.796 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Jumlah ini meningkat sekitar 25.000 pekerja hanya dalam tiga bulan terakhir.
Namun, dari jumlah tersebut, hanya sekitar 40.000 pekerja yang bisa mengklaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan.
Baca Juga: PHK Melonjak Capai 59.796 Orang , Klaim JKP pun Melonjak 14% per Oktober 2024
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai kondisi ini menunjukkan rendahnya kepatuhan perusahaan dalam mendaftarkan pekerja mereka ke BPJS Ketenagakerjaan.
"Kepesertaan pekerja di jaminan sosial ketenagakerjaan belum optimal," ujar Timboel kepada Kontan.co.id pada Kamis (14/11).
Menurut data, dari 142,18 juta pekerja, hanya sekitar 41,56 juta yang terdaftar dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) hingga akhir Desember 2023.
Timboel berharap, di bawah Kabinet Merah-Putih yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto, Kemnaker dapat memperkuat pengawasan dan penegakan hukum.
Ia menyarankan penerapan yang lebih tegas terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2013, yang mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya di BPJS Ketenagakerjaan dengan larangan mengakses layanan publik.
"Pengawas ketenagakerjaan dan aparat hukum, seperti kejaksaan, harus memiliki peran yang lebih kuat," tegas Timboel.
Ia menambahkan bahwa meskipun regulasi telah jelas, namun aspek pengawasan dan penegakan hukum masih lemah, sehingga perlu diperbaiki agar lebih efektif.
Baca Juga: Ombudsman RI: Perlindungan BPJS Ketenagakerjaan Sangat Penting
“Sanksinya sudah jelas di PP 86 Tahun 2013 dan Pasal 55 UU BPJS tentang sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak menyetorkan iuran ke BPJS Ketenagakerjaan,” ungkapnya.
Timboel berharap Kementerian Ketenagakerjaan yang baru dapat mengoptimalkan peran pengawas ketenagakerjaan agar permasalahan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan ini tidak berulang.
"Regulasi sudah jelas, tetapi pengawasan perlu lebih berkualitas," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News