Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor di pasar saham Indonesia memiliki minat yang besar terhadap sektor perbankan. Berdasarkan data Samuel Sekuritas, dari 20 besar emiten dengan kapitalisasi pasar (market cap) terbesar enam diantaranya merupakan sektor perbankan. Bahkan empat dari lima big market cap pun diduduki oleh perbankan yakni BBCA, BBRI, BMRI, dan ARTO.
Bahkan saat ini, emiten bank kecil yang menyatakan bakal melakukan transformasi menjadi bank digital harganya sahamnya melonjak dan ramai diperdagangkan. Head of Research PT Samuel Sekuritas, Suria Dharma menjelaskan fenomena ini tak terlepas dari peran investor ritel.
Ia bilang jauh sebelum pandemi, rata-rata transaksi di Bursa Efek Indonesia lebih didominasi oleh institusi global. Namun pandemi telah mengubah komposisi menjadi investor ritel. Sepanjang Januari hingga Juni 2020, rata-rata transaksi harian di bursa senilai Rp 7,7 triliun dengan komposisi 37,3% dari investor ritel, 39,4% institusi lokal, dan 23,3% institusi global.
“Pada Januari - Juni 2021, itu rata-rata transaksi harian mencapai Rp 13,48 triliun yang didominasi investor ritel hingga 59,3%, 16,2% dari institusi global, dan 24,5% institusi lokal. Padahal kepemilikan investor ritel jauh lebih rendah dibandingkan kepemilikan institusi,” ujar Suria pada pekan lalu.
Baca Juga: BCA dan Bank Mandiri tambah modal bagi anak usaha yang bergerak di sektor digital
Lanjutnya, hal ini ikut mempengaruhi pola-pola pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia. Ia menilai investor institusi lebih suka mengoleksi saham dari emiten bank dengan aset besar. Sedangkan investor ritel lebih suka bank kecil dan digital karena ada cerita di fintech ataupun e-commerce di belakangnya yang menarik bagi millennial.
“Kenapa bank digital menarik belakang ini? Karena setelah Covid-19, transaksi online itu meningkat, ini tidak diperkirakan. Juga ada aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menambah modal bagi bank digital untuk bank baru Rp 10 triliun, bank konvensional yang dikonversi jadi bank digital Rp 3 triliun, sedangkan digital dari anak usaha bank besar senilai Rp 1 triliun,” tambah Suria.
Namun, OJK juga telah mendorong agar perbankan di tanah air memiliki modal inti minimum sebesar Rp2 triliun tahun ini dan Rp 3 triliun pada tahun depan. Faktanya, tidak semua bank kecil punya dana untuk tingkatkan modalnya. Karena kondisi ini, e-commerce dengan perkembangan transaksi mereka tertarik untuk punya bank digital.
“Kalau saya lihat, bank digital memiliki tantangannya juga. Misalnya, berapa jauh orang mau menempatkan dana pihak ketiganya di bank digital. Sedangkan dana murah itu lebih banyak di tempatkan di bank bank besar BUKU 4. Jadi memang itu sesuatu yang tidak bisa berubah. Jadi itu menjadi tantangan bank digital,” jelas Suria.