Reporter: Roy Franedya |
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akhirnya mengizinkan swasta berpartisipasi mengelola informasi kredit. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 15/1/PBI/2013 tentang lembaga pengelola informasi perkreditan, BI membolehkan lembaga biro kredit dikelola lokal maupun asing. Aturan berlaku sejak 18 Februari 2013.
Untuk mendirikan biro kredit swasta, BI mensyaratkan beberapa hal. Yakni, pengelola biro wajib berbadan hukum Indonesia, mendapat persetujuan prinsip dan izin usaha dari BI. Biro kredit juga harus memiliki modal disetor minimum Rp 50 miliar. Sumber dana tidak boleh dari pinjaman dan tidak terkait kegiatan pencucian uang.
Kepemilikan biro kredit swasta maksimal 51% per pihak. Biro kredit juga wajib mencadangkan sebagian dari profitnya guna meningkatkan teknologi, infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). Penggunaan tenaga kerja asing maksimal 50% dari total pegawai dan hanya boleh mengisi jabatan direksi, komisaris dan tenaga konsultan.
Gubernur BI, Darmin Nasution, mengatakan tujuan pembentukan biro kredit swasta untuk meminimalkan asimetris informasi. Juga mendukung manajemen risiko, mengurangi moral hazard dalam penyediaan dana dan mengurangi kredit bermasalah. "Selain itu, mendorong penurunan biaya akuisisi kredit dan meningkatkan akses pembiayaan yang inklusif," ujarnya.
PBI biro kredit swasta merupakan salah satu paket kebijakan BI yang diumumkan akhir Desember 2011. Beleid baru ini melengkapi PBI No. 9/14/PBI Tahun 2007 tentang Sistem Informasi Debitur (SID). Per Desember 2012 j Biro Informasi kredit BI mencatat, terdapat 66,79 juta debitur. Nantinya, biro kredit akan mengumpulkan dan mengelola data debitur. Bank yang menggunakan data biro kredit akan dikenakan biaya.
Pengamat perbankan, Mohammad Doddy Arifianto, menilai pembentukan biro kredit membantu bank memberikan informasi debitur di daerah yang belum tersentuh layanan perbankan dan belum layak kredit (bankable). Keran kredit bisa terbuka lebar.
Namun, biro ini bukan tanpa masalah. Ada kekhawatiran muncul permainan biro kredit dengan bank yang membutuhkan data. Caranya, menerapkan standar rating debitur yang business friendly. "Sebaik-baiknya metodologi pasti tak bisa lepas dari subjektifitas," katanya. Ia menyarankan, biro kredit menjadi rekanan regulator agar mengurangi perang kepentingan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News