Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belakangan, pemilik PT Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA) Dato Sri Tahir getol mengucurkan dana buat tambahan modal perseroan. Usut punya usut, kondisi Bank Mayapada memang tengah bermasalah.
Masalah mulai menyeruak sejak awal kuartal II-2020, dimana terbit hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan (BPK) terhadap pengawasan bank umum oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama 2017-2019. Bank Mayapada jadi satu dari tujuh bank yang disorot BPK.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tersebut menyatakan pada 2017, Bank Mayapada mengucurkan kredit korporasi kepada 18 debitur senilai Rp 4,33 triliun dengan melanggar ketentuan pemberian kredit yang sehat, prudent, dan good governance.
Pengawas OJK kemudian meminta perseroan segera menyelesaikan masalah tersebut. Parahnya, hingga 2018 pemberian kredit yang dilakukan tidak sesuai ketentuan justru bertambah dengan adanya 31 debitur anyar. Artinya sudah ada 49 debitur perseroan yang diberi kredit misalnya hanya dengan jaminan pribadi alias personal guarantee, ataupun nilai agunan fisik tak sepadan dengan nilai kucuran kreditnya.
Baca Juga: Bos Bank Mayapada: Cathay ingin kembali tingkatkan kepemilikan saham
OJK kemudian memberi ultimatum, jika tak menyelesaikan pelunasan hingga akhir 2019, status kredit 49 debitur tadi bakal dikelompokkan menjadi kolektabilitas 5. Konsekuensinya, Bank Mayapada harus menyandang status bank dalam pengawasan intensif (BDPI).
Deputi Komisioner Humas & Logistik OJK Anto Prabowo enggan mengonfirmasi status ini. “Status menurut hemat saya bagian dari proses pengawasan, jangan sampai kalau disebut malah menimbulkan keresahan dan proses penyehatan atau due diligence investor menjadi terpengaruh,” katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (12/7).
Lantaran belum diselesaikan sepenuhnya, pada tanggal 29 Januari 2020 OJK menerbitkan Surat No.SR-5/PB.33/2020 terkait penetapan Bank Mayapada sebagai BDPI. Alasannya masih ada lima debitur pada 2017 dengan nilai kredit Rp 632 miliar, dan 30 debitur dengan nilai kredit Rp 8,01 triliun pada 2018 yang belum melunasi kreditnya sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan OJK.
Akibatnya, status kredit 35 debitur tersebut dikategorikan macet, non performing loan (NPL) net per Desember 2019 yang dipublikasikan perseroan sebesar 1,63% disesuaikan menjadi 9,30%, sementara capital adequacy ratio (CAR) yang terpublikasi 16,18% melorot hingga 10,12%.
Selain soal pemberian kredit yang tak sesuai ketentuan, BPK juga menemukan adanya indikasi pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Per Mei 2019, penyaluran kredit terkonsentrasi kepada empat grup perusahaan.
57 debitur dari Grup Hanson International milik Benny Tjokro senilai Rp 12,39 triliun, 14 debitur dari Grup Saligading Bersama milik Musyanif senilai Rp 3,13 triliun, 16 debitur dari Grup Intiland milik Hendro Gondokusumo senilai Rp 4,74 triliun, dan 11 debitur dari Grup Mayapada milik Tahir senilai Rp 3,3 triliun.
Direktur Pengelolaan Modal dan Investasi PT Intiland Development Tbk (DILD) Archied Noto Pradono membantah hal ini. Ia bilang total kredit modal kerja dari Bank Mayapada cuma sekitar 19% dari total dari total utang perseroan yakni sebesar Rp 4,8 triliun. Adapun, akhir tahun lalu, total utang Intiland ke Bank Mayapada tercatat Rp 870,4 miliar. Sedangkan hingga Maret 2020 nilainya Rp 918,7 miliar.
“Jadi total hutang Intiland ke Bank Mayapada bukan Rp 4,47 triliun seperti yang beredar di pemberitaan media," katanya kepada Kontan.co.id.
Sebagai catatan, pengelompokan grup debitur yang dilakukan BPK tersebut sejatinya tak cuma lantaran adanya relasi kepemilikan antar perusahaan, melainkan juga terhadap kepengurusan, hubungan keuangan, hingga spesimen tanda tangan pengendali grup di pembukaan rekening bank lain.
Baca Juga: OJK: Hasil pengawasan OJK tengah diselesaikan Bank Mayapada
Saat dikonfirmasi, Direktur Utama Bank Mayapada Hariyono Tjahjarijadi enggan berkomentar soal penetapan status BDPI, dan menyatakan seluruh temuan OJK dalam laporan BPK tersebut sudah diselesaikan.
“Semua temuan BPK sudah kami selesaikan. Kami juga sudah mengeksekusi aset Rp 17 triliun dari sejumlah debitur yang sempat bermasalah tersebut,” katanya kepada Kontan.co.id, Senin (13/7).
Meski mengaku sudah menyelesaikan, namun kondisi keuangan perseroan nyatanya tetap terpengaruh. per kuartal I-2020, NPL gross perseroran meningkat tajam menjadi 6,94% dibandingkan 3,85% akhir tahun lalu. Sementara CAR juga ikut terpapas dari 16,18% pada akhir tahun lalu menjadi 13,75% pada MAret 2020.
Ini alasannya sejak akhir kuartal pertama Tahir getol menambah modal. Hingga kini secara total Tahir sudah menyetor Rp 4,5 triliun modal, Rp 1 triliun disetor tunai, sedangkan Rp 3,5 triliun berasal dari jual beli aset sejumlah properti milik Tahir.
Setoran modal ini disiapkan untuk merealisasikan aksi penambahan modal lewat hak memesan efek terlebih dahulu alias rights issue yang sedang dipersiapkan perseroan. Aksi ini akan digelar dengan menerbitkan 2.277.470.229 saham anyar dan target penghimpunan dana Rp 4,5 triliun.
Selain kucuran modal Tahir, secara terpisah Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan Slamet Edy Purnomo bilang pengendali saham Bank Mayapada lain yaitu Cathay Life Insurance Co Ltd tengah menggelar uji tuntas untuk menggantikan Tahir sebagai pengendali terakhir di perseroan.
“Mudah-mudahan, minggu depan due diligence sudah selesai,” kata Slamet kepada Kontan.co.id.
Cathay sejatinya juga merupakan salah satu pengendali Bank Mayapada sejak 2017, setelah setahun sebelumnya membeli 15,10% saham perseroan yang dipegang Briliant Bazaar Pte Ltd. Pasca transaksi Cathay kemudian mengempit 40% kepemilikan saham Bank Mayapada.
Sejak saat itu, Cathay juga terus berpartisipasi dalam aksi rights issue yang digelar perseroan untuk mempertahankan komposisi kepemilikan saham 40%. Pada 2017 Cathay mengucurkan Rp 400 miliar, dan Rp 800 miliar pada 2018. Baru pada rights issue tahun lalu Cathay alpa, sehingga kepemilikannya ikut terdilusi menjadi 37,33% dan bertahan hingga kini.
Baca Juga: OJK: Bank Mayapada sudah sampaikan action plan
Saat dikonfirmasi, Tahir menepis isu ini. Ia bilang sejauh ini belum ada pembicaraan terkait beralihnya pengendalian terakhir Bank Mayapada. Ia juga bilang masih punya komitmen untuk tak melepaskan kendali terakhir bank bentukannya ini.
“Intinya memperkuat modal, bukan mengambil alih. Kami juga belum pernah bicara (pengambilalihan), yang jelas kami pasti ambil rights issue, kalau mereka (Cathay) belum jelas. Namun, kami tetap berharap mereka ikut tambah modal,” kata Tahir.
Sementara Hariyono menambahkan, Cathay sejatinya sudah sejak lama punya niat meningkatkan kepemilikan sahamnya, namun terganjal regulasi dimana batas maksimum kepemilikan bank oleh asing adalah 40%.
Ia menambahkan, bercermin dari akuisisi Bangkok Bank terhadap PT Bank Permata Tbk (BNLI), Cathay kini makin serius mewujudkan niat tersebut, bahkan ditarget bisa terealisasi tahun ini.
“Sebelumnya asing kan terbatas 40%, namun kemarin ada Bangkok Bank ke Bank Permata, itu dicontoh. Saya tidak tahu bagaimana kesepakatannya dengan PSPT, namun Cathay menargetkan bisa meningkatkan kepemilikan lebih dari 40% tahun ini. Mereka juga tidak mau ketinggalan kesempatan jika pandemi usai, permintaan kredit pasti besar,” sambung Hariyono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News