Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kredit perbankan ke sektor nikel terusik isu moratorium smelter nikel dan berpotensi mengganggu permintaan kredit dari sektor ini. Namun, sejumlah bank punya pendapat berbeda.
Baru-baru ini, produksi nikel Tanah Air dibayangi lesunya permintaan dari importir utamanya, China.
Hal ini bisa dilihat dari catatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) yang menunjukkan turunnya produksi raksasa smelter nikel asal China, Tsingshan Holding Group, yang digerakan melalui PT Tsingshan Steel Indonesia.
Pada Januari 2025, kapasitas produksinya berkisar pada 150.000-160.000 ton nickel pig iron (NPI). Namun, produksi berangsur menurun hingga hanya 80.000 ton di bulan Juni.
APNI juga mencatat penurunan produksi pada pemilik smelter nikel terbesar Indonesia, yakni PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), dari 100.000 ton pada Januari 2025 menjadi hanya 10.000-20.000 ton per Juni.
Baca Juga: Maybank Yakin Permintaan Kredit Nikel Tak Akan Terganggu Isu Moratorium
Efeknya, pasokan nikel Tanah Air menumpuk dan harganya jadi tertekan. Hal ini menimbulkan desakan moratorium atau penangguhan sementara terhadap pembangunan maupun perizinan baru terhadap smelter nikel berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
Kendati begitu, Presiden Direktur PT Maybank Indonesia Tbk, Steffano Ridwan mengatakan, permintaan kredit dari sektor nikel tak akan terlalu berdampak. Hal ini karena menurut dia, Maybank Indonesia telah mendiversifikasi portofolio kreditnya untuk menjaga keseimbangan yang sehat.
“Walaupun misalkan harga nikel sedang turun, bukan berarti semua nasabah akan terimbas,” ujar Steffano kepada Kontan, Rabu (11/6).
Meski tak menyebut angka, dia mengaku permintaan kredit nikel masih bergerak normal. Dengan demikian, pihaknya mengaku belum berencana menghentikan aliran kredit ke sektor ini.
“Kalau porsinya masih ada dan kebetulan nasabahnya juga memenuhi semua kriteria, tentunya tidak akan berhenti,” lanjut Steffano.
Secara keseluruhan, saat ini kredit ke sektor pertambangan dinilai Steffano masih prospektif. Namun tentu, dia tak menampik kenyataan bahwa setiap industri memiliki siklus hidupnya masing-masing.
Melansir laporan kinerja tahun 2024, total penyaluran kredit Maybank Indonesia naik 10% secara tahunan (YoY) mencapai Rp 127 triliun dari Rp 116 triliun di tahun sebelumnya. Kredit nonritel, yang mencakup kredit investasi, tumbuh 19,7% YoY mencapai Rp 36,7 triliun.
Sementara itu, EVP Corporate Communication and Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Hera F. Haryn mengatakan, saat ini BCA memang tengah membiayai sektor yang bergerak pada hilirisasi industri pertambangan termasuk nikel.
Namun dia menekankan, kredit tersebut dialirkan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian global maupun domestik.
Dapat dikatakan, kredit ke sektor nikel bakal tetap berlanjut selagi industri dan kondisi ekonomi masih menyambut.
Melansir laporan keuangan Triwulan l 2025 BCA, kredit korporasi BCA mencapai Rp 443,4 triliun, meningkat 13,9% YoY. Di dalamnya, kredit investasi mencakup 52% dari total kredit korporasi, yakni Rp 284 triliun atau naik 19% YoY.
Namun Hera menekankan, BCA menyaring ketat permintaan kredit dari sektor pertambangan. Wajar saja, industri ini punya risiko lingkungan yang tinggi.
Baca Juga: Pelaku Usaha Yakin Iklim Investasi Nikel Tak Terganggu Imbas Dicabutnya 4 IUP Tambang
Hera mengeklaim, BCA punya lima kebijakan sektoral untuk menilai risiko kredit sektor ini dan meminta dokumen seperti analisis dampak lingkungan (amdal), peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (proper), dan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL) kepada calon debitur.
Di lain pihak, Direktur Kepatuhan Bank Oke Efdinal Alamsyah menilai, isu moratorium bakal menahan permintaan kredit baru dari sektor ini. Namun, ini tak berlaku bagi debitur eksisting.
“Bagi debitur eksisting dengan operasi berjalan dan offtake agreement yang jelas, dampaknya relatif terbatas,” kata Efdinal.
Kendati Bank Oke belum punya portofolio kredit ke sektor pertambangan, secara umum dia melihat permintaannya masih prospektif. Apalagi menurutnya, pamor batubara dan logam mulia belum juga mereda.
“Subsektor batubara masih prospektif karena permintaan terhadap batubara masih tinggi. Sementara, logam mulia seperti emas diminati sebagai aset lindung nilai di tengah ketidakpastian global,” pungkas Efdinal.
Baca Juga: Greenpeace: Nikel dari PT Gag Nikel Digunakan untuk Baterai EV Sejumlah Brand Ternama
Selanjutnya: Klaim Pengangguran Mingguan AS Stabil Tinggi
Menarik Dibaca: UGM Gaet Industri untuk Hilirisasi Riset, Sasar Pasar Ekspor Herbal Kosmetika
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News